Judul Buku : Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan
Penulis : Soe Hok Gie
Penerbit : Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta
Tahun Terbit : September 1997 (cetakan ke-2)
Tebal : 312 Hal.
Buku ini adalah skripsi Soe Hok Gie untuk mendapat gelar sarjana dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta, pada tahun 1969. Judul asli dari buku ini adalah Simpang Kiri dari Sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan PKI Madiun September 1948. Skripsinya ini benar-benar menarik, karena membuat kita seakan-akan membaca sebuah novel sejarah. Tapi penulisnya cukup hati-hati untuk tetap bersikap objektif dalam analisisnya sehingga fakta dalam suatu peristiwa sejarah tetap ditempatkan pada posisi yang terhormat. Buku ini banyak bercerita mengenai awal mula pemberontakan PKI tahun 1948. Banyak hal yang ditulis mengenai latar belakang peristiwa pemberontakan PKI 1948 hingga penumpasannya. Soe Hok Gie menulis mulai dari perpecahan antar-grup dalam PKI 1926, tokoh-tokoh PKI 1948, kejadian-kejadian sebelum Peristiwa Madiun, kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Solo, saat-saat pemberontakan FDR, dan penumpasan FDR/PKI di Madiun. Informasi akan pemberontakan PKI di Madiun yang didapat dari buku ini cukup banyak dan memuaskan pembaca yang ingin mengetahui lebih dalam apa yang terjadi di Madiun pada September 1948.
BAB I : TOKOH DAN PANGGUNG
Pada bab pertama ini Soe Hok Gie menjelaskan akan tokoh dan latar belakang peristiwa pemberontakan PKI di Madiun. Soe Hok Gie menulis bahwa peristiwa PKI Madiun 1948 memiliki kaitan erat dengan pemberontakan PKI pada 1926. Menurut Soe Hok Gie, pada awal abad ke-20 kebanyakan pemuda mengalami krisis pemikiran, sehingga kebanyakan pemuda saat itu menjadi revolusioner dan radikal. Hal ini ia buktikan dengan tokoh Musso, tokoh penting peristiwa pemberontakan PKI Madiun. Musso yang dilahirkan di desa Pagu, Kediri, adalah seorang yang terpelajar. Bahkan ia menjadi murid kesayangan Dr. Hazeu (penasihat Belanda urusan Bumiputera). Pada masa pendidikannya ia bersahabat dengan Alimin, yang kelak juga menjadi pemimpin PKI. Musso juga pernah berguru pada H.O.S. Tjokroaminoto, sehingga ia juga dekat dengan Soekarno.
Tokoh lain adalah Alimin Prawirodirdjo, dilahirkan di Surakarta dalam sebuah keluarga yang miskin. Ia lalu dipungut anak oleh Dr. Hazeu dan diberikan kesempatan bersekolah agar kelak dapat menjadi pegawai pemerintah. Tapi sayangnya dunia jurnalistik dan politik lebih menarik minat Alimin muda. Alimin tergabung dalam Boedi Oetomo dan Central Sarekat Islam. Ia juga berguru pada H.O.S. Tjokroaminoto dan bersahabat dengan Musso, Soekarno, dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo.
Tokoh yang juga tak kalah penting adalah Sardjono. Ia adalah tokoh kecil pada masa awal PKI. Sardjono adalah pemimpin SI di Sukabumi yang kemudian memihak ke PKI. Dalam kongres PKI di Kotagede, Yogyakarta, banyak pemimpin PKI dalam bahaya penangkapan. Darsono yang diminta menjadi ketua menolak karena akan ditangkap. Sementara Ali Archam, salah deorang tokoh terkemuka PKI juga menolak dengan alasan yang sama. Akhirnya pilihan jatuh pada Sardjono yang memimpin PKI sampai ajalnya.
Soe Hok Gie menulis pada masa awal PKI pemerintah Belanda bertindak tegas terhadap aksi-aksi yang dilakukan oleh PKI. Tokoh-tokoh kunci PKI ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda. Hal ini membuat Alimin, Musso, dan Tan Malaka lari ke luar negeri. Dalam situasi ini Sardjono membuat rencana pemberontakan, tapi rencana itu ditolak oleh Tan Malaka selaku wakil Komintern wilayah Asia. Sardjono dan Musso tidak menyerah begitu saja, rencana itu pun mereka ajukan ke Moskow. Tapi sayangnya Moskow juga menolak rencana mereka. Tapi Musso tetap nekad dan memerintahkan Sardjono untuk melakukan pemberontakan. Sayangnya pemberontakan itu gagal, sehingga pemerintah Hindia Belanda semakin bertindak keras dalam menghadapi PKI.
Pada 1935 Musso sempat kembali ke Surabaya dan mengkader beberapa pemuda. Dia juga mendirikan kembali CC PKI yang dia pimpin sendiri. Karena PKI merupakan partai ilegal, PKI menyusupkan kadernya dalam Partai Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia). Para kader PKI yang menjadi anggota Gerindo antara lain Wikana, D.N. Aidit, Sidik Kertapati, dan Sudisman. Mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda pun juga tak lepas dari sasaran PKI. PKI sempat mengkader beberapa tokoh mahasiswa macam Abdulmadjid (ketua Perhimpunan Indonesia setelah Hatta), Setiadjid, Rustam Effendi, Maruto Darusman, Sumitro Djojohadikusumo, dan Mr. Jusuf.
Menurut Soe Hok Gie, seusai kegagalan pemberontakan di tahun 1926, muncul suasana saling menyalahkan dalam pimpinan PKI. Karena tekanan yang kuat, Sardjono selaku ketua umum PKI memberikan pertanggungjawabannya. Dan perpecahan antar pimpinan PKI pun timbul di Digul. Hingga Jepang menyerah telah tumbuh bermacam-macam grup dalam PKI. Grup Alimin dan Musso yang hijrah ke Rusia, grup PKI 35 yang merupakan kader-kader Musso, grup Digul dibawah pimpinan Sardjono, grup mahasiswa di negeri Belanda, dan grup-grup yang tidak tertangkap selama pendudukan Belanda dan Jepang. Mereka mempunyai cara kerja, pengalaman, dan emosi yang berbeda. Semua mengaku tunduk pada Komintern dan berkiblat ke Moskow. Mereka merasa di bahu mereka terletak tugas untuk menyelamatkan kaum yang terhina dan tertindas.
BAB II : DI BAWAH BAYONET JEPANG DAN DESINGAN PELURU SEKUTU
Pada bagian ini Soe Hok Gie menjelaskan tentang usaha-usaha para komunis dalam perjuangannya mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Sebelum Belanda menyerah kepada Jepang, Belanda sempat membentuk kelompok gerakan bawah tanah. Dan Belanda menunjuk Amir Sjarifuddin sebagai pemimpin gerakan bawah tanah tersebut. Amir Sjarifuddin sempat mengajak Soetan Sjahrir dan Hatta untuk bergabung, tapi ditolak oleh dua tokoh besar nasional itu.
Tetapi Amir Sjarifuddin sempat menjadikan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo sebagai sekutunya. Ia bersama Dr. Tjipto membentuk GERAF (Gerakan Rakyat Anti-Fasis). Tapi Jepang dapat mencium pergerakan GERAF dan menangkapai para pemimpin GERAF. Amir sendiri sempat dijatuhi hukuman mati oleh Jepang, tapi atas intervensi Soekarno dan Hatta putusan itu dapat dibatalkan dan diganti dengan hukuman seumur hidup. GERAF sendiri setelah para pemimpinnya ditangkapi tidak bisa berbuat apa-apa lagi, mereka hanya bisa menyebarkan propaganda anti-Jepang layaknya kelompok-kelompok kecil lainnya.
BAB III : PEMERINTAHAN SAYAP KIRI
Bab ini menjelaskan tentang kondisi para marxis pada awal kemerdekaan Indonesia. Disini diterangkan mengenai perkembangan ideologi sosialis-komunis setelah era penjajahan berakhir. Indonesia yang baru saja merdeka membuat para pemimpin pergerakan berusaha mengisinya dengan ideologi yang diemban. Dan ideologi yang dimiliki oleh para pemimpin pergerakan ini kebanyakan memiliki konsepsi ke arah kiri / sosialis-komunis. Indonesia tercatat memiliki tiga tokoh besar dalam perkembangan ideologi marxisme, mereka adalah Soetan Sjahrir, Tan Malaka, dan Amir Sjarifuddin.
Pandangan Sjahrir adalah sosialis-demokratis. Ia menjunjung tinggi demokrasi dalam membentuk masyarakat yang sosialis. Pandangan-pandangannya ia terapkan ketika menjadi perdana menteri. KNIP ia ubah dari sebuah badan penasihat menjadi badan legislatif yang ditambahkan kekuatan-kekuatan demokratis. Ia juga membentuk dewan kerakyatan di tiap daerah. Partai-partai diizinkan berdiri agar dapat menampung aspirasi rakyat. Tapi idenya mendapat tentangan kuat ia menerapkannya dalam bersikap menghadapi Belanda. Karena ia mengulur waktu untuk berdiplomasi dengan Belanda demi penyempurnaan Republik Indonesia.
Bila Sjahrir bersedia berdiplomasi untuk penyempurnaan Republik Indonesia, maka Tan Malaka tidak bersedia untuk berunding. Bagi Tan Malaka kemerdekaan politis tanpa kemerdekaan ekonomi benar-benar tidak ada artinya. Dia tidak setuju dengan perundingan apapun tanpa dasar pengakuan kemerdekaan Indonesia 100%. Dan sebagai jaminan pengakuan pihak lawan adalah penyitaan aset milik asing.
Selain dua tokoh tadi, Soe Hok Gie juga menjelaskan tentang pendirian PKI secara legal. Mr. Jusuf memanfaatkan maklumat pemerintah yang menganjurkan untuk pembentukan partai-partai. Mr. Jusuf menggunakan maklumat tersebut untuk melegalkan adanya PKI. Selain itu Soetan Sjahrir juga memanfaatkan maklumat tersebut untuk mendirikan Partai Rakyat Sosialis (PARAS). Amir Sjarifuddin juga mendirikan Partai Sosialis (PARSI). PARAS dan PARSI akhirnya bergabung dengan nama Partai Sosialis dan Amir Sjarifuddin bertindak sebagai pemimpinnya, hal ini dikarenakan Soetan Sjahrir sudah terlalu sibuk dengan jabatannya sebagai perdana menteri. Tak lama kemudian Partai Buruh Indonesia (PBI) yang berhaluan kiri juga lahir. Ketiga partai ini tergabung dalam kelompok Sayap Kiri yang menganut politik komunis garis-lunak (moskow-oriented communist). Sementara itu Tan Malaka yang berhaluan komunis garis-keras (home-grown communist) membentuk Persatuan Perjuangan yang berfungsi sebagai oposisi dari kelompok Sayap Kiri (PKI, PS, dan PBI).
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, PKI terdapat clash dengan TRI. Hal ini karena perbedaan pendapat antara golongan PKI dan militer. PKI menganggap TRI hanya alat partai/negara. Selain itu PKI memang memiliki rasa tidak suka terhadap para pemimpin-pemimpin TRI macam Nasution dan Soedirman yang dianggapnya fasis. Hal ini karena mereka adalah bekas tentara didikan Belanda dan Jepang. PKI sendiri juga mendapat oposisi dari kelompok Persatuan Perjuangan bentukan Tan Malaka yang merupakan kelompok-kelompok anti-PKI. Persatuan Perjuangan terdiri dari Pesindo, Masjumi, Dewan Pusat Perjuangan Jawa Tengah, Serindo, Partai Sosialis, Markas Besar TRI, TLRI, dan Perwari.
Pemerintahan kiri Indonesia diawali oleh Soetan Sjahrir yang menjabat sebagai perdana menteri pada kabinet pertama Republik Indonesia. Segala pemikirannya ia tuangkan dalam pemerintahannya yang berlangsung dari November 1945 hingga Juni 1947. Tetapi karena Perundingan Linggajati menuai banyak kecaman termasuk dari kawan politiknya, ia akhirnya mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri. Marxisme masih menguasai Indonesia ketika Amir Sjarifuddin menggantikan Soetan Sjahrir sebagai perdana menteri. Dan Amir Sjarifuddin juga jatuh dari jabatannya setelah mengalami kegagalan dalam persetujuan Renville yang berakibat semakin menyempitnya wilayah NKRI. Amir Sjarifuddin pun mengalami hal yang sama seperti Soetan Sjahrir.
BAB IV : SITUASI SOSIAL DI BAWAH
Pada bagian ini dijelaskan bagaimana pandangan masyarakat Indonesia terhadap “revolusi”. Terdapat perbedaan pandangan antar para pemimpin revolusi. Penulis menganggap makna revolusi Sjahrir lebih logis dibanding pemaknaan revolusi oleh pemimpin tertinggi republik. Sjahrir beranggapan bahwa revolusi adalah soal perjuangan yang mengenai kehidupan dan nasib rakyat kita yang berjuta-juta yang tak boleh diperlakukan sebagai diri sendiri, soal menunjukkan jalan pada rakyat adalah semata-mata soal perhitungan dan bukan soal kehendak diri kita sendiri.
Dalam revolusi semua hal harus baru, sehingga nilai-nilai lama ditolak dan diganti dengan nilai-nilai baru. Nilai-nilai baru, yang juga tidak jelas artinya adalah suatu harapan, suatu mimpi indah yang diatasnya dibangun harapan akan terbentuknya masyarakat baru. Revolusi sendiri kala itu menjadi sebuah tren yang menjangkiti pemuda-pemuda Indonesia. Sehingga para pemuda mengalami frustasi-frustasi dalam pencarian nilai baru ini.
Ketika tokoh kiri yang dipuja oleh pemuda sebagai revolusioner yang akan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik dengan nilai-nilai baru, tokoh tersebut malah masih berkutat dengan nilai-nilai lama. Soetan Sjahrir ketika menjabat sebagai perdana menteri pada kabinet pertama Republik Indonesia diharapkan bersikap anti-Belanda, tapi sayangnya Perundingan Linggajati malah menghancurkan image dia sebagai revolusioner. Begitu kawan politiknya menghujat kebijakannya dan masyarakat (utamanya golongan pemuda) tidak mendukung ide-idenya tentang ”politik diplomasi”, ia pun akhirnya menyerahkan mandat dan mengundurkan diri dari jabatan Perdana Menteri.
Ditengah rasa frustasi itu, para pemuda kembali menjagokan tokoh kiri Indonesia. Amir Sjarifuddin di dukung dengan segenap harapan-harapan rakyat Indonesia. Tapi Amir sendiri merasa kesulitan untuk melaksanakan ide revolusioner-nya di lingkungan pemerintahan. Dan akhirnya Perundingan Renville pun menjatuhkannya dari posisi perdana menteri setelah PNI dan Masjumi menarik diri dari kabinetnya. Rakyat pun kembali frustasi dan kebingungan tanpa tahu kemana arah revolusi Indonesia yang sebenarnya.
BAB V : MIMPI-MIMPI INDAH YANG TELAH BERAKHIR
Bab ini menerangkan tentang keadaan Indonesia usai mundurnya para pemimpin-pemimpin Sayap Kiri dari kabinet Indonesia. Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa selama dua periode awal pemerintahan Republik Indonesia dipimpin oleh golongan Sayap Kiri, yaitu Soetan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Soetan Sjahrir yang mengundurkan diri dari kabinet karena tekanan dari golongan Sayap Kiri yang merupakan kawan politiknya membuat dirinya keluar dari golongan Sayap Kiri. Soetan Sjahrir pun menjadi oposisi dari kabinet Amir Sjarifuddin dan memisahkan diri dari Partai Sosialis dengan mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Gagalnya kelompok Sayap Kiri membuat rakyat kebingungan dalam mencari tokoh yang tepat untuk memimpin Republik. Hatta pun akhirnya ditunjuk sebagai perdana menteri menggantikan Amir Sjarifuddin. Pengangkatan Hatta sebagai perdana menteri membuahkan dilema bagi kelompok Sayap Kiri. Hal ini berakibat pecahnya kelompok Sayap Kiri dan kelompok ini pun mengundurkan diri dari kabinet. Kabinet Indonesia tanpa kelompok Sayap Kiri pun dimulai di era Hatta.
Bekas kelompok Sayap Kiri seperti Soetan Sjahrir dkk. yang mendukung kabinet Hatta tergabung dalam panitia Program Nasional. Amir Sjarifuddin sendiri melalui Partai Sosialis sebenarnya tergabung dalam kepanitian ini, karena Program Nasional dapat dijadikan oleh Sayap Kiri sebagai alat politiknya. Tetapi kemudian ia mundur dari Program Nasional dan merubah nama Sayap Kiri menjadi Front Demokrasi Rakyat. Hal ini dikarenakan Program Nasional Hatta dirasakan sebagai tekanan terhadap Front Demokrasi Rakyat. Front Demokrasi Rakyat sendiri akhirnya menjadi oposisi di pemerintahan Hatta.
Tetapi FDR sendiri memiliki pengaruh yang kuat di kalangan rakyat. Bahkan Divisi IV (Batalyon Panembahan Senopati) berada dibawah pengaruh FDR. Apalagi setelah Soeripno yang kembali dari Praha bersama sekretarisnya yang bernama Soerapto. Propaganda-propaganda Soeripno dan Soerapto mampu menumbuhkan sikap revolusioner dan merubah garis-lunak Koalisi Sayap Kiri menjadi garis-keras Front Demokrasi Rakyat. Soerapto sendiri akhirnya diketahui bahwa ia sebenarnya adalah Musso, seorang agitator dan ahli propaganda yang merupakan senior Soekarno ketika ia berguru kepada H.O.S. Tjokroaminoto.
Situasi di dalam negeri pun makin panas. Apalagi setelah Tan Malaka dibebaskan oleh Hatta, tuduh-menuduh pun terjadi antar kubu pro-FDR dan anti-FDR. Di Solo yang terdapat banyak simpatisan pro-FDR dan anti-FDR terjadi culik-menculik antar pasukan TNI dengan laskar-laskar. Hal ini dikarenakan sikap kurang simpatik pasukan Siliwangi ketika ditegur oleh pasukan divisi Senopati. Pertempuran pun terjadi antar pasukan TNI. Tetapi laskar rakyat dan pasukan divisi Senopati dapat dipukul mundur hingga Madiun. Akhirnya Solo menjadi basis kelompok anti-FDR dan Madiun pun menjadi basis pro-FDR. Perang saudara pun tak terelakkan lagi di Madiun setelah Hatta mengumumkan darurat perang.
BAB VI : AWAL DAN AKHIRNYA
Bagian pembuka bab ini sungguh menarik, Soe Hok Gie mengambil kata-kata dari Mayjend. T.B. Simatupang yang diambil dari Laporan dari Banaran hlm. 98. ”Saya sendiri yakin bahwa anak-anak biasa, yakni prajurit-prajurit dan pemuda-pemuda yang telah gugur pada kedua pihak selama peristiwa Madiun ini umumnya tidak tahu-menahu tentang persoalan-persoalan yang berada di belakang tragedi nasional ini. Saya yakin bahwa doa yang terakhir dari anak-anak itu semua adalah untuk kebahagiaan dan kebesaran tanah air yang satu juga”.
Ini menunjukkan bahwa pemberontakan yang dilakukan FDR/PKI di Madiun ini muncul akibat ketidakpuasan rakyat kepada pemerintah. Para pemuda dan rakyat yang menginginkan suatu perubahan dalam sistem dan nilai-nilai di Indonesia untuk kehidupan yang lebih baik menggunakan cara kekerasan setelah pemerintah tidak merespon segala aspirasi mereka. Pada perang saudara yang terjadi di Madiun ini kedua-belah pihak sama-sama menginginkan kemajuan bagi Republik Indonesia, hanya saja perbedaan ideologi dan cara membuat peristiwa berdarah ini terjadi.
Pada bagian ini dijelaskan mengenai peristiwa Madiun secara lebih mendetail. Dimulai dengan serbuan pasukan divisi Senopati ke Solo pada 17 September 1948 dan deklarasi Front Demokrasi Rakyat / Front Nasional pada 18 September 1948. Dalam waktu singkat pun Madiun, Pati, Ponorogo, dan Cepu dikuasai oleh Pemerintah Front Nasional. Di daerah yang dikuasai, FDR melucuti persenjataan milik polisi dan TNI yang masih setia terhadap Republik dan menangkapi lawan-lawan politiknya dari Masjumi dan PNI. Amir Sjarifuddin dan Musso sendiri sibuk memanas-manasi rakyat dan orasi-orasi nya pun semakin anti-pemerintah Republik. Soekarno sendiri ikut memanaskan suasana dengan memerintahkan masyarakat untuk memilih bergabung dengan dirinya (Soekarno-Hatta/Pemerintah) atau bergabung dengan gerombolan Musso (FDR/PKI).
TNI sendiri dibawah Jenderal Soedirman menghadapi dilema. Di satu sisi mereka tidak menyetujui ide demobilisasi tentara yang dilontarkan Hatta. Tapi di sisi yang lain ia juga tak setuju dengan PKI yang menggunakan militer hanya untuk kepentingan partai. Sebenarnya TNI sendiri bersimpati dengan gerakan revolusioner FDR ini. Hanya saja kesetiaan terhadap NKRI membuat TNI harus bersikap tegas terhadap kudeta FDR di Madiun ini.
Pasukan TNI pun dipersiapkan untuk mengepung Madiun dari segala arah. Hal ini dikarenakan Madiun adalah pusat dari FDR, sehingga apabila pemerintah FDR pusat mampu ditumpas, maka daerah-daerah FDR yang lain akan mudah untuk dibasmi. Pendukung FDR yang terdesak pun kebingungan dan melakukan tindak pembunuhan secara membabi-buta terhadap tawanan-tawanan yang mereka sekap. Begitu Pasukan TNI berhasil merebut Madiun, tindakan balasan dari masyarakat terhadap pendukung FDR terjadi. Banjir darah pun tak terelakkan lagi, karena yang berperang bukan lagi tentara melawan tentara, melainkan rakyat melawan rakyat.
Perlawanan sengit sempat terjadi di Ponorogo, tetapi dapat ditumpas dengan baik oleh pasukan TNI. Musso sendiri tertembak mati ketika dalam pengejaran TNI. Amir Sjarifuddin dapat ditangkap dan akhirnya dijatuhi hukuman mati. Sementara itu Aidit melarikan diri ke China. FDR sendiri akhirnya kehilangan dukungan dan PKI hilang untuk sementara waktu di Indonesia.
Beberapa teori tentang latar belakang Peristiwa Madiun dimunculkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dari dalam PKI sendiri menyebut Peristiwa Madiun adalah provokasi yang sudah dilakukan oleh Amerika Serikat. PKI menuduh pemerintah sedang mencari simpati dari Amerika Serikat supaya membantu dalam sengketa Indonesia-Belanda. Amerika sendiri sedang berupaya menghapus komunisme di dunia mengingat saat itu perang dingin sedang marak-maraknya.
Teori ini ditolak oleh kalangan TNI. Karena apabila teori provokasi ini benar, maka Soekarno-Hatta akan tenang karena rencana provokasi mereka berjalan dengan baik. Tapi kenyataannya Soekarno-Hatta sendiri kebingungan dan bertanya-tanya apa maksud dari sikap Musso yang menantang Republik Indonesia. Sementara itu dari golongan yang anti-FDR menyebutkan bahwa Peristiwa Madiun memang sudah direncanakan oleh PKI, hal ini mereka hubungkan dengan garis keras Zhdanov yang dipakai oleh Komintern sejak tahun 1947 dan gerakan-gerakan komunis yang terjadi di Burma, Malaya, serta Filipina.