23 January 2010

Volksraad

Pendahuluan
Pemilu 2009 baru saja berakhir, dengan ini akan dimulailah babak baru pemerintahan legislatif di Indonesia. Para politikus yang terpilih juga terdapat beberapa muka-muka baru, dan tentunya akan membawa pemikiran yang lebih fresh pula. Walaupun menyisakan berbagai kekisruhan di berbagai bidang, penyelenggaraan Pemilu 2009 patut diapresasi dengan adanya rasa kemerdekaan memilih wakil rakyat, sebuah rasa yang tidak dialami oleh masyarakat Indonesia sebelumnya. Karena apabila kita melihat sejarah Indonesia, maka baru kali inilah bangsa Indonesia memilih secara langsung para wakil rakyat baik dari tingkat DPRD Kota hingga presiden kelak. Saat ini rakyat Indonesia benar-benar disuguhi pilihan yang cukup banyak dalam menyampaikan aspirasinya.

Tetapi melihat kinerja DPR selama 5 tahun terakhir pantas membuat masyarakat bimbang akan perubahan yang lebih baik, karena DPR seperti mengalami disfungsi dalam menyampaikan aspirasi masyarakat. Begitu banyak kasus-kasus kriminal yang muncul dari para pejabat tersebut, mulai dari tindakan asusila hingga kasus korupsi yang menyeret banyak pejabat tenar. Hal ini apabila kita menengok kembali ke Sejarah Indonesia pra-kemerdekaan, maka kita bisa berkaca pada volksraad (Dewan Rakyat) yang mengalami disfungsi dalam menyalurkan aspirasi rakyat Indonesia saat itu.

Volksraad (Dewan Rakyat) didirikan pada akhir tahun 1916 oleh Gubernur Jenderal von Limburgstirum. Beliau sengaja menciptakan volksraad agar semua permasalahan dan kekisruhan yang terjadi pada tanah jajahan Hindia Belanda dapat teratasi. Hal ini dilatarbelakangi oleh maraknya aksi massa dan protes petani terhadap regulasi cultuurstelsel (tanam paksa) yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Tidak meratanya otonomi daerah dan kemiskinan yang melanda masyarakat memicu terjadinya konflik-konflik dalam negeri yang dipicu ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Dalam kelahirannya, volksraad merupakan lembaga penasihat para gubernur jenderal dalam memberi kebijakan terhadap rakyat Hindia Belanda. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa wewenang dari volksraad amatlah sedikit, hingga tidak mampu menyampaikan aspirasi rakyat Indonesia. Sangat mirip dengan kondisi DPR RI dalam era sekarang, dimana DPR tidak mampu menjadi pihak pro-rakyat dan belum mampu menyampaikan aspirasi rakyat Indonesia secara maksimal. Disfungsi amanah inilah yang menjadi persamaan antara DPR saat ini dengan volksraad di masa lalu. Dari makalah berikut ini, semoga kita dapat mengambil hikmah serta menarik suatu benang merah akan kondisi sosial-politik Indonesia dari kacamata sejarah. Semoga kita semua dapat belajar dari volksraad, dan Dewan Rakyat Indonesia saat ini mampu lebih baik daripada volksraad di zaman Hindia Belanda dulu.


Latar Belakang Lahirnya Volksraad
Tahun-tahun permulaan abad ke-20 merupakan masa keemasan bagi negeri Hindia Belanda. Perkembangan ekonomi yang pesat akibat cultuurstelsel dan pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda mampu memodernisasikan Nusantara, sehingga rakyat saat itu mulai melangkah maju untuk membangun sebuah peradaban modern ala Eropa. Kemajuan peradaban ini pula yang pada akhirnya menumbuhkan semangat nasionalisme dari berbagai kalangan priyayi baru, entah itu dia membawa prinsip agama (Islam), sosialisme, bahkan nasionalisme. Inilah yang disebut politik etis, atau mungkin sebuah politik balas budi bangsa Eropa pasca eksploitasi besar-besaran dengan menerapkan cultuurstelsel di Nusantara.

Politik Etis merupakan gagasan dari C. Th. Van Deventer pada tahun 1899. Beliau menerbitkannya dalam sebuah artikel berjudul Een Eereschuld (Suatu Hutang Kehormatan) pada jurnal Belanda De Gids . Gagasan politik etis ini timbul pasca banyak kaum humanis yang melihat adanya eksploitasi dan penindasan kepada rakyat Indonesia. Salah satu tokoh yang cukup terkenal akan perjuangan gagasan politik etis ini adalah Douwes Dekker (Multatuli) yang menuliskannya dalam sebuah novel berjudul Max Havelaar (1860). Dalam pelaksanaannya, politik etis baru dipraktekkan pada tahun 1902 kala Alexander W.F. Idenburg diangkat sebagai Menteri Urusan Daerah Jajahan sekaligus Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dari politik etis, terutama pada dunia pendidikan, maka inilah yang menjadi penyebab utama tumbuhnya rasa ingin ‘merdeka’ pada kalangan priyayi di Jawa.

Selain faktor politik etis tadi, dalam memandang masalah munculnya volksraad tidak bisa dilepaskan dari masalah depresi ekonomi dunia dan Perang Dunia I. Akibat begitu melimpahnya produksi tanaman dari Hindia Belanda, hal ini memicu menurunnya harga-harga komoditas ekspor yang diambil dari wilayah Asia Tenggara. Hal ini berdampak pada lesunya perdagangan karena begitu murahnya harga yang disertai penimbunan-penimbunan yang dilakukan oleh pedagang Arab dan Cina di Nusantara.

Perang Dunia juga menjadi fokus utama dalam pembahasan mengenai penyebab dibentuknya volksraad. Karena masalah volksraad tidak dapat dilepaskan dari gagasan pembentukan indie werbaar (Pertahanan Hindia) yang dikampanyekan oleh Boedi Oetomo dan Sarekat Islam. Selain itu masalah Perang Dunia juga menghambat arus perdagangan dari Nusantara ke luar negeri, sehingga makin kacau saja perekonomian di Hindia Belanda. Pada masa-masa suram inilah partai-partai politik di Nusantara memegang peranan penting dalam usaha menuju Indonesia Merdeka .

Gagasan indie werbaar ini pada dasarnya adalah ide untuk membentuk milisi paruh-waktu yang terdiri atas orang-orang Indonesia , dengan adanya ‘jasa’ dari para milisi rakyat Indonesia ini diharapkan mereka mampu mengambil peranan penting dalam parlemen Kerajaan Belanda sehingga mampu mewujudkan sebuah otonomi khusus bagi Indonesia. Tetapi sayang, Ratu Wilhelmina menolak gagasan mengenai indie werbaar tersebut, tetapi gagasan mengenai pembentukan volksraad disetujui. Hanya saja posisi volksraad bukanlah lembaga legislatif, tetapi penasihat bagi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Kembali pada politik etis yang memicu lahirnya volksraad, maka alasan lain pendirian volksraad adalah dimulainya era desentralisasi pemerintahan Kerajaan Belanda. Proses ini dimulai pada tahun 1903 yang memunculkan Undang-Undang Desentralisasi , walaupun belum maksimal dalam pelaksanaannya. Tetapi perubahan adiministratif ini mencapai puncaknya dengan pembentukan Dewan Rakyat (volksraad) pada 1916.

Volksraad
Volksraad disetujui pembentukannya pada 16 Desember 1916 (Ind. Stb. No. 114 Tahun 1917) , tetapi pembentukan tersebut baru terlaksana pada 18 Mei 1918 oleh Gubernur Jenderal Graaf von Limburgstirum. Volksraad sengaja didirikan sebagai penasihat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, bukan sebagai parlemen perwakilan rakyat Indonesia. Tetapi oleh beberapa aktivis pergerakan nasional, volksraad digunakan sebagai wadah perjuangan mereka agar Indonesia dapat memerdekakan diri, atau setidaknya menjadi sebuah wilayah otonomi tersendiri.

Dalam proses pembentukan volksraad, proses ini diawali dengan pembentukan “Dewan Kabupaten” (Haminte Kota), di mana setiap 500 orang Indonesia berhak memilih “Wali Pemilih” (Keesman). Kemudian Wali Pemilih inilah yang berhak memilih sebagian anggota Dewan Kabupaten. Kemudian setiap provinsi mempunyai “Dewan Provinsi”, yang sebagian anggotanya dipilih oleh Dewan Kabupaten dan Haminte Kota di wilayah provinsi tersebut. Sebagian besar anggota Dewan Provinsi yang umumnya dari bangsa Belanda inilah yang diangkat oleh Gubenur Jenderal sebagai anggota volksraad. Proses berbelit dan tidak tampaknya keberpihakan kepada rakyat Indonesia inilah yang memicu banyak munculnya sentimen negatif terhadap volksraad, terutama dari kalangan gerakan kiri Indonesia.
Volksraad generasi pertama terdiri dari 39 orang, dimana 15 orang merupakan pribumi. Hal ini diperparah dengan sebagian besar pribumi yang ada di volksraad adalah orang-orangn konservatif (pegawai pemerintah), sementara jumlah pribumi lokal yang bersikap radikal hanya sedikit, itupun setelah ditunjuk oleh sang Gubernur Jenderal. Seiring berjalannya waktu, jumlah pribumi yang berada di volksraad juga ikut menaik, dimana pada mulanya hanya 39% saja pribumi yang ada volksraad, maka presentase itu bertambah pada tahun 1921 menjadi 40% dari 49 anggota, bertambah lagi menjadi 42% pada tahun 1927 dengan 60 anggota, dan menjadi 50% pada tahun 1930 .

Setelah volksraad terbentuk, maka kini partai-partai yang ada di Nusantara pun bersiap-siap. Sikap pragmatisme politik pun muncul di kalangan aktivis pergerakan nasional. Boedi Oetomo salah satunya, dimana sempat muncul upaya untuk meraih massa di luar Jawa dengan menggunakan Islam sebagai daya tarik. Hal ini akhirnya mampu digagalkan oleh Radjiman dan kawan-kawannya yang anti-islam, sehingga Boedi Oetomo masih berprinsip Jawa-sentris. Begitu juga dengan Sarekat Islam yang memperoleh tantangan dari sebagian besar anggotanya, terutama yang berada di Semarang. Sarekat Islam Semarang dibawah pimpinan Semaoen menyatakan penolakan terhadap keikutsertaan Central Sarekat Islam dalam mengkampanyekan indie werbaar dan menentang gagasan untuk duduk di dalam volksraad. Pertikaian internal dalam tubuh Sarekat Islam inilah yang kelak pada akhirnya memecah Sarekat Islam menjadi beberapa kelompok.

Walaupun menurut Gubernur Jenderal von Limburgstirum volksraad berhak untuk menyalurkan aspirasi rakyat Indonesia, dan mungkin kelak menjadi pusat perpolitikan Belanda yang dipindah ke Nusantara, serta status tanah jajahan akan segera diganti dengan status otonomi khusus. Tetapi pernyataan itu tidak pernah terwujud hingga Jepang memasuki wilayah Indonesia. Semaoen sendiri mengolok-olok volksraad bukan sebagai parlemen yang sesungguhnya (karena tidak demokratis) dan hanya merupakan komidi putar lengkap dengan panggung sandiwara. Hal ini karena fungsi volksraad yang hanya sebagai penasihat Gubernur Jenderal tanpa kewenangan untuk mengubah pemerintahan, tidak memiliki anggaran belanja, serta pembatasan-pembatasan fungsi legislatifnya .

Ketidakjelasan fungsi volksraad sebagai penyambung lidah rakyat inilah yang memicu kemarahan-kemarahan publik dan tidak terkontrolnya situasi politik di dalam negeri Hindia Belanda. Hal ini diperparah dengan krisis ekonomi global yang melanda dunia pada tahun 1927. Situasi menjadi panas dan pemberontakan mulai muncul dimana-mana. Kecaman-kecaman terhadap volksraad dan pemerintah Hindia Belanda mulai bermunculan dan mengarah pada pemberontakan (disintegrasi). Perlawanan-perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda juga mulai bermunculan, dimulai dari Pemberontakan PKI pada 1927 hingga perisitiwa kapal Zeven Provincien pada 1933. Hal ini memicu kekhawatiran tersendiri bagi pemerintah Hindia Belanda .

Pemerintah Hindia Belanda pun menjadi represif dalam menghadapi pergerakan nasional dan partai-partai politik yang ada di Nusantara. Sekolah-sekolah digeledah dan beberapa diantaranya ditutup, buku-buku politik disita, banyak guru yang dilarang mengajar, dan pemimpin-pemimpin partai politik ditangkap. Dalam keadaan seperti itu, seorang anggota volksraad yang berasal dari Jawa mengeluarkan sebuah petisi. Ia adalah Soetardjo Kartohadikoesoemo. Pada bulan Juli 1936 ia mengeluarkan sebuah petisi kepada volksraad untuk diselenggerakannya suatu konferensi untuk mengatur otonomi Indonesia dalam sebuah Uni Indonesia-Belanda selama kurun waktu sepuluh tahun .

Banyak kelompok yang mendukung petisi Soetardjo ini, oleh karenanya petisi inipun disetujui oleh volksraad karena banyak yang menginginkan kewenangan lebih luas. Tetapi memperoleh dukungan dari volksraad belum tentu akan menyelesaikan masalah di dalam negeri, karena petisi Soetardjo ini malah menimbulkan perpecahan kembali diantara partai-partai yang sudah ada akibat pro dan kontra. Lagipula pada akhirnya ketika petisi ini ditawarkan kepada Kerajaan Belanda, jawaban yang diberikan oleh pihak kerajaan adalah penolakan. Mosi perjuangan identitas untuk menyebut “Indonesier” daripada “Inlander” yang diupayakan oleh Thamrin, Soetardjo, dan Wiwoho juga menemui jalan buntu .

Perang Asia Raya yang sudah semakin dekat pun tak terelakkan lagi. Waktu yang semakin sempit tidak cukup bagi volksraad untuk memerdekakan Indonesia. Volksraad benar-benar tidak menjadi parlemen yang sesungguhnya akibat kegagalan memperjuangkan aspirasi rakyat. Ejekan Semaoen menjadi kenyataan bahwasanya volksraad hanya akan berputar-putar saja layaknya komidi putar. Pergerakan nasional pun tidak mempercayai lagi perjuangan melalui parlemen untuk Indonesia yang lebih baik, dan arah pergerakan ini kembali ke jalur semula: radikal.

1 comment: