29 January 2010

Perseteruan Aremania & Bonekmania dalam Bingkai Kapitalisme

25 komentar
Hari ini persepakbolaan nasional sudah mulai menapak maju, dimana setiap klub sepakbola yang ada dibawah naungan PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) dibina untuk lebih profesional. Bentuk profesionalitas itu oleh PSSI dituangkan dalam format baru Liga Indonesia, dimana sejak tahun 1994 kompetisi yang sebelumnya terbagi dua disatukan dalam konsep Liga Indonesa dengan kasta tertinggi terletak pada Divisi Utama. Setelah berganti-ganti konsep dan format kompetisi, akhirnya pada tahun 2008 Divisi Utama Liga Indonesia berubah menjadi Indonesian Super League. Proses pembinaan kompetisi beserta klub-klub yang ada didalamnya diharapkan mampu membuat iklim sepakbola di Indonesia menjadi lebih modern dan mampu menelurkan bibit-bibit baru pemain asli Indonesia yang lebih berkualitas.

Kemajuan persepakbolaan nasional tentu harus diikuti oleh komunitas suporter yang menjadi basis pendukung sebuah klub sepakbola. Karena adalah sebuah omong kosong apabila sebuah klub sepakbola itu mampu bertahan tanpa dukungan suporter yang ada dibelakangnya. Tetapi sayangnya sudah menjadi rahasia umum bahwasanya persepakbolaan Indonesia dikenal akan kerusuhan dan permainan yang menjurus kasar. Kerusuhan demi kerusuhan, entah itu akibat ketidakdewasaan suporter atau provokasi ofisial pertandingan kepada suporter menjadi cerita lama dalam dunia persepakbolaan Indonesia. Konflik Jakarta-Bandung, Semarang-Jepara, Jogja-Solo, dan Malang-Surabaya menjadi cerita pasti mengenai aroma panas dalam konflik suporter di Indonesia.

Belum dewasanya suporter di Indonesia tentu menjadi penghambat bagi pengembangan profesionalitas klub-klub di Indonesia. Aksi anarkis yang dilakukan oleh oknum suporter menjadi salah satu faktor lambatnya pengembangan profesionalitas klub Indonesia. Belajar dari kasus rasisme Aremania beberapa saat yang lalu tentu menjadi sebuah pelajaran berharga bagi seluruh elemen suporter yang ada. Kerugian sebesar hampir 1 miliar rupiah bagi Arema tentu menjadi sebuah permasalahan tersendiri. Arema yang merupakan klub profesional tanpa dukungan dana APBD tentu kesulitan membayar gaji pemain dan lainnya. Padahal skala permasalahan baru sekitar denda dan hukuman, belum pada level anarkisme tingkat tinggi seperti perusakan stadion dan beberapa fasilitas, kerusuhan antar-suporter, hingga aksi-aksi kejahatan yang melibatkan komunitas suporter.

Salah satu pertarungan suporter yang paling sering disorot oleh media massa adalah rivalitas Aremania dan Bonek. Dua elemen suporter dari Arema Indonesia dan Persebaya Surabaya ini memiliki tensi rivalitas yang sangat tinggi, dimana perseteruan antar kedua elemen suporter ini tak jarang berakhir dengan bentrokan, kerusuhan, kerusakan material, hingga jatuhnya korban jiwa. Ekspresi saling benci keduanya juga tertumpah ketika mendukung kesebelasan masing-masing, walaupun yang dihadapi adalah tim sepakbola selain Arema Indonesia atau Persebaya Surabaya.

Konflik Aremania melawan Bonek sudah menjadi cerita lama dalam diskusi antar-suporter di Indonesia. Pertarungan yang sudah mendarah-daging dalam kedua elemen suporter tersebut menjadi bumbu pedas dalam forum antar-suporter. Walaupun belum ada yang pernah memfilmkannya layaknya film Romeo-Juliet, tetapi aroma panas selalu terasa dalam kehidupan sehari-hari warga Malang dan Surabaya. Tidak jarang ditemui di rumah seorang Aremania segala atribut Bonek menjadi kain lap, sementara di Surabaya segala atribut Aremania menjadi keset.

Aroma panas kedua elemen ini tentu menarik untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut, karena sifat persaingannya yang begitu kental dan sudah mendarah-daging. Belum lagi pembentukan iklim sepakbola Indonesia ke arah modern tentu harus mewaspadai satu hal yang kini masih menjadi kontroversi: industri sepakbola. Modernisasi sepakbola secara tidak langsung membawa dunia sepakbola ke arah industri, dimana pada akhirnya kapital juga ikut bermain dalam menentukan suasana dan atmosfir sebuah pertandingan. Bukan tidak mungkin beberapa peristiwa yang berkaitan dengan sepakbola Indonesia hari ini berkaitan erat dengan suasana pasar ekonomi.

Selain dari perspektif industri sepakbola, tentu konflik-konflik yang timbul juga tidak luput dari permasalah sosial dan budaya dalam sebuah masyarakat. Masalah hegemoni dan pengakuan akan ‘the one and the best’ juga menjadi salah satu permasalah konflik suporter Indonesia. Persoalan chauvinisme dan fanatisme dalam sebuah masyarkat juga tidak dapat dihilangkan sebagai faktor-faktor pemicu konflik. Belum lagi soal dendam yang berasal dari peristiwa yang terjadi sebelumnya. Begitu banyak permasalahan yang timbul dalam masyarakat sehingga terbawa dalam kancah sepakbola membuat stadion masih belum menjadi tempat yang nyaman dalam menikmati pertandingan sepakbola.

Dengan mempelajari proses historis perseteruan kedua kelompok suporter ini diharapkan adanya pembelajaran serta solusi agar konflik-konflik yang terbangun menjadi sportif dan tidak anarkis. Pengkajian akan sebuah konflik dengan memandang dari perspektif sosiologi –dimana masyarakat dan kondisi kultural akan menjadi objek yang dikaji– diharapkan akan timbul sebuah mediasi entah itu berupa negoisasi atau yang lainnya. Dengan begitu posisi suporter sebagai sebuah pendukung klub akan terjadi hubungan timbal balik dengan klub yang didukung. Selain itu diharapkan pula perdamaian antar-suporter sepakbola yang ada di Indonesia dapat terjadi.


Sejarah Aremania dan Rivalitas dengan Bonek
Tahun 1988 lahirlah Yayasan Arema Fans Club (AFC) yang didirikan oleh Ir. Lucky Acub Zaenal. Yayasan ini hadir sebagai basis kelompok suporter dari Yayasan PS Arema yang didirikan setahun sebelumnya. Tahun pertama AFC berdiri dipimpin oleh Ir. Lucky Acub Zaenal dengan 13 korwil (koordinator wilayah) yang ada dibawahnya. Keberadaan AFC yang begitu formal dan eksklusif membuat kalangan suporter yang berasal dari kelas bawah tidak mampu menjangkau organisasi tersebut. AFC sendiri pada akhirnya belum mampu menciptakan kerukunan antar-suporter di Malang, sehingga harus dibubarkan pada tahun 1994.

Kondisi chaos dalam kota, dimana sering terjadi perselisihan antar-geng yang berlanjut ke dalam stadion membuat kota Malang menjadi sepi di kala Arema bertanding. Banyak toko-toko dan warung-warung tutup, bahkan hingga mengunci pintu dan jendela. Beberapa narasumber bahkan menceritakan bahwa ketika itu seorang suporter membawa batu, pentungan, dan golok adalah hal biasa . AFC yang belum mampu menyatukan elemen-elemen suporter yang ada di Malang akhirnya membubarkan diri. Menjelang bubarnya AFC, beberapa suporter sepakbola Malang berkumpul dan mendiskusikan mengenai Aremania. Beberapa nama seperti Handoko, Yuli Sumpil, Ovan Tobing, Leo Kailola, dan Lucky Acub Zaenal yang merupakan pentolan dari beberapa kelompok suporter PS Arema di Malang berkumpul dan mengambil keputusan bahwa Aremania didirikan dalam sebuah organisasi non-formal (tanpa bentuk) tetapi terus menjaga persatuan dan sportivitas. Sehingga sejak saat itu tidak ada ketua resmi dari Aremania.

Ketiadaan ketua bukan berarti menimbul perpecahan dalam Aremania. Kultur masyarakat Malang yang egaliter membangun kebersamaan dalam ketiadaan struktur organisasi tersebut. Prinsip “sama rata, sama rasa, satu jiwa” yang dimiliki oleh warga Malang menjadikan Aremania menjadi kelompok suporter yang memiliki kekompakan dan persatuan yang kuat. Rasa egaliter pula yang membuat Aremania kompak dan mudah dikendalikan oleh Yuli dan Kepet, dirigen Aremania saat ini.

Titik balik Aremania terjadi pada tahun 1993, pasca PS Arema menjuarai kompetisi Galatama PSSI. PS Arema yang pada tahun-tahun sebelumnya belum memiliki begitu banyak pendukung, mendapatkan perpindahan pendukung begitu banyak dari Ngalamania. Kedewasaan arek Malang akan dampak negatif dari anarkisme membawa dampak positif bagi perjalanan Aremania selanjutnya. Aremania lalu mempelopori untuk selalu hadir mengawal pertandingan Arema di kandang lawan. Dimulai dari Cimahi pada tanggal 31 Mei 1995, Aremania selalu mengikuti kemanapun Arema pergi dan mendukung sembari menularkan virus suporter damai kepada elemen-elemen suporter lawan.

Bulan Mei 1996 Aremania berani untuk melakukan lawatan ke stadion ‘musuh abadi’ untuk mendukung Arema dan menularkan virus perdamaian ke Bonek yang menjadi elemen suporter Persebaya. Aremania datang dengan pengawalan dari DANDIM Kota Malang pada pertandingan yang disaksikan oleh para petinggi PSSI dan gubernur Jawa Timur, dimana mereka menunjukkan eksistensi perdamaian yang dibawanya. Stadion Tambaksari yang dikenal ‘biadab’ karena jarangnya suporter lawan yang berani memasuki stadion tersebut akibat tekanan, intimidasi, kerusuhan, dan provokasi Bonek menjadi saksi eksistensi Aremania .



Rivalitas Malang Surabaya
Berbicara masalah persaingan dan rivalitas dua elemen suporter di Jawa Timur ini, maka kita tidak dapat mengesampingkan sejarah dan kultur sosial masyarakat masing-masing kota. Malang yang secara demografis adalah sebuah kota yang ada di pinggiran gunung, dimana pembangunan-pembangunan yang dilakukan sejak pemerintahan kolonial Hindia Belanda hingga zaman Orde Baru membawa kemajuan yang sangat pesat bagi kota ini. Kemajuan yang membuat masyarakatnya merasa mampu untuk menyaingi kota metropolitin sekelas Surabaya. Surabaya yang selalu dianggap ‘number one’ dalam berbagai kondisi membuat masyarakat Malang tidak terima dan menganggap arek Suroboyo adalah saingan utama mereka. Dalam tataran propinsi misalnya, dimana Malang merupakan kota kedua setelah Surabaya. Hal ini memicu kecemburuan sosial yang sangat tinggi oleh arek Malang terhadap arek Suroboyo .

Kondisi ‘tidak mau kalah’ ini membuat suhu konflik Malang-Surabaya begitu panas. Begitu juga dengan sepakbola, dimana suporter asal Malang selalu berusaha menyaingi suporter asal Surabaya. Arek Suroboyo sudah lama memiliki sifat bondho nekat, dimana pernah mereka aplikasikan dalam upaya melawan tentara sekutu dalam pertempuran 10 November 1945. Sifat bondho nekat yang masih menjadi kultur masyarakat Surabaya modern juga terbawa dalam sepakbola. Pada akhirnya, bondho nekat ini menjadikan suporter Surabaya saat itu terkesan brutal dan anarkis, seperti halnya Hooligans di daratan Eropa.

John Psipolatis pernah menyinggung akan perbedaan ‘suporter brutal’ dan ‘hooligan’ dalam kajiannya tentang sepakbola Indonesia. Ia menyatakan bahwa untuk di Indonesia lebih sesuai dengan sebutan ‘suporter brutal’, karena mereka datang ke stadion untuk menikmati pertandingan dan sesudahnya membuat onar. Sementara ‘hooligan’ belum pantas disandang oleh suporter di Indonesia karena Hooligan datang dengan niat untuk membuat kerusuhan tanpa menikmati pertandingan sepakbola.

Konflik dalam hal sepakbola dimulai sejak tahun 1967, dimana terjadi kerusuhan dalam pertandingan Liga Perserikatan antara Persebaya Surabaya melawan Persema Malang di Surabaya. Kondisi ini dibalas oleh arek-arek Malang dalam pertandingan Persema Malang melawan Persebaya Surabaya di Malang. Akhirnya, konflik suporter yang merupakan pertarungan geng Malang-Surabaya ini terus berlanjut pada tahun 70’an. Periode 80’an menjadi puncak ketegangan antara Bonek dan Ngalamania, dimana tahun 1984 terjadi ‘Perang Badar’ antara Ngalamania dengan Bonek. Peperangan yang terjadi antara Arek Malang dan Arek Suroboyo itu membuat Presiden Soeharto kala itu menyikapinya dengan ucapan “kalau sepakbola membuat persatuan hancur, lebih baik tidak usah”.


Rivalitas Bonek – Aremania
Berdirinya Armada 86 hingga berevolusi menjadi PS Arema pada tahun 1987 membuat konflik semakin memanas. Dalam kompetisi Perserikatan, Persema dan Persebaya sudah memanaskan suhu konflik antar-suporter di Jawa Timur. Dengan hadirnya Arema yang mengikuti kompetisi Galatama, suhu itu kian memanas dengan rivalitas Arema dan Niac Mitra Surabaya. Semifinal Galatama tahun 1992 yang mempertandingkan PS Arema Malang melawan PS Semen Padang di stadion Tambaksari Surabaya menghadirkan awalan baru sejarah konflik Aremania-Bonek. Arek Malang (saat itu belum bernama Aremania) membuat ulah di Stasiun Gubeng pasca kekalahan Arema Malang dari Semen Padang. Kapolda Jatim saat itu akhirnya mengangkut mereka dalam 6 gerbong kereta api untuk menghindari kerusuhan dengan Bonek.

Kejadian di Stasiun Gubeng itu membuat panas Bonek yang ada di Surabaya. Tindakan balasan mereka lakukan dengan mencegat dan menyerang rombongan Aremania pada akhir tahun 1993 saat akan melawat ke Gresik. Peristiwa ini dibalas oleh Aremania pada tahun 1996 dengan melakukan lawatan ke Stadion Tambaksari dengan pengawalan ketat DANDIM. Keberanian Aremania untuk hadir di Stadion Tambaksari kala pertandingan Persebaya melawan Arema saat itu telah membuat Bonek tidak bisa berbuat apa-apa dan harus menahan amarah mereka dengan cara menghina Aremania lewat kata-kata saja. Hal ini karena pertandingan tersebut disaksikan oleh para petinggi PSSI dan gubernur Jawa Timur saat itu, serta pengawalan ketat DANDIM kota Malang terhadap Aremania. Bagi Aremania, hal ini sudah sangat mempermalukan Bonek dengan datang langsung ke jantung pertahanan lawan sembari menunjukkan kesantunan Aremania dalam mendukung tim kesayangan. Semenjak itulah tidak ada kata damai dari Bonek kepada Aremania, dan Aremania sendiri juga menyatakan siap untuk melayani Bonek dengan kekerasan sekalipun.

Kejadian ini dibalas oleh Bonek di Jakarta pada tahun 1998. Tanggal 2 Mei 1998 dimana Aremania akan hadir dalam pertandingan Persikab Bandung vs Arema Malang, Aremania yang baru turun dari kereta di Stasiun Jakarta Pasarsenen diserang oleh puluhan Bonek. Ketika itu rombongan Aremania yang berjumlah puluhan orang menaiki bus AC yang sudah disiapkan oleh Korwil Aremania Batavia. Di tengah jalan, belum jauh dari Stasiun Pasarsenen tiba-tiba bus yang ditumpangi Aremania dihujani batuan oleh Bonek. Untuk menghindari jatuhnya korban, rombongan Aremania langsung turun dari bus untuk melawan Bonek yang menyerang mereka. Bahkan Aremania sampai mengejar-ngejar Bonek yang ada di Stasiun Pasarsenen. Tindakan Aremania ini mendapat applaus dari warga setempat, sehingga Bonek harus mundur meninggalkan area Stasiun Pasarsenen.

Kondisi rivalitas yang begitu panas antara Aremania dan Bonek membuat keduanya menandatangi nota kesepakatan bahwa masing-masing kelompok suporter tidak akan hadir ke kandang lawan dalam laga yang mempertemukan Arema dan Persebaya. Nota kesepakatan yang ditandatangani oleh Kapolda Jatim bersama kedua pemimpin kelompok suporter tersebut ditandatangani di Kantor Kepolisian Daerah Jawa Timur pada tahun 1999. Semenjak tahun 1999, maka kedua elemen suporter ini tidak pernah saling tandang dalam pertandingan yang mempertemukan kedua klub kesayangan masing-masing.

Tetapi nota kesepakatan itu tidak mampu meredam konflik keduanya. Tragedi Sidoarjo yang terjadi pada bulan Mei 2001 menunjukkan masih adanya permusuhan kedua elemen ini. Kala itu pertandingan antara tuan rumah Gelora Putra Delta (GPD) Sidoarjo melawan Arema Malang di Stadion Delta Sidoarjo dalam lanjutan Liga Indonesia VII. Karena dekatnya jarak Surabaya-Sidoarjo membuat sejumlah Bonek hadir dalam pertandingan tersebut. Menjelang pertandingan dimulai, batu-batu berterbangan dari luar stadion menyerang tribun yang diduduki oleh Aremania. Kondisi ini membuat Arema meminta kepada panpel untuk mengamankan wilayah luar stadion. Karena lemparan batu belum berhenti membuat Aremania turun ke lapangan, sementara di luar stadion justru terjadi gesekan antara Bonek dengan aparat. Turunnya Aremania ke lapangan pertandingan membuat pertandingan dibatalkan. Terdesaknya aparat keamanan yang kewalahan menghadapi Bonek membuat Aremania membantu aparat dengan memberikan lemparan balasan ke arah Bonek. Aremania pun harus dievakuasi keluar stadion dengan truk-truk dari kepolisian.

Kejadian rusuh yang berkaitan antara Aremania dengan Bonek masih berlanjut pada tahun 2006. Kekalahan Persebaya Surabaya atas Arema Malang di stadion Kanjuruhan dalam laga first leg Copa Indonesia membuat kecewa Bonek di Surabaya. Seminggu kemudian, kegagalan Persebaya Surabaya mengalahkan Arema Malang di stadion Gelora 10 November Tambaksari Surabaya membuat Bonek mengamuk. Laga yang berkesudahan 0-0 ini harus dihentikan pada menit ke-83 karena Bonek kecewa dengan kekalahan Persebaya dari Arema Malang. Kekecewaan ini mereka lampiaskan dengan merusak infrastruktur stadion, memecahi kaca stadion, dan merusak beberapa mobil dan kendaraan bermotor lain yang ada di luar stadion. ANTV yang menayangkan pertandingan tersebut meliputnya secara vulgar, bahkan berkali-kali menunjukkan gambar rekaman mengenai mobil ANTV yang dirusak oleh Bonek. Aremania menyikapi hal ini dengan menyerahkannya secara total kepada pihak berwajib dan PSSI.

Rivalitas keduanya tidak hanya hadir lewat kerusuhan dan peperangan, tetapi juga dengan nyanyian-nyanyian saat mendukung tim kesayangannya. Bonekmania, di kala pertandingan Persebaya melawan tim manapun, pasti akan menyanyikan lagu-lagu yang menghina Arema dan Aremania. Lagu-lagu yang menyebutkan Arewaria, Arema Banci, Singo-ne dadi Kucing, dan beberapa lagu lain kerap mereka nyanyikan di Stadion Gelora 10 November Tambaksari Surabaya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Aremania, dimana lagu-lagu anti-Bonek juga mereka kumandangkan kala Arema menghadapi tim lain di Stadion Kanjuruhan. Bahkan persitiwa terbaru adalah tersiarnya kabar mengenai dikepruknya mobil ber-plat N ketika malam tahun baru di Surabaya oleh pemuda berkaos hijau (oknum Bonek?).


Atmosfir Malang – Surabaya 
Seperti yang ditulis oleh Feek Colombijn dalam View from The Periphery: Football in Indonesia, dimana ia menyebut bahwa dinamika suporter di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Kultur Jawa yang mengutamakan keselarasan dalam harga diri, dimana penolakan yang amat sangat terhadap hal yang bisa mempermalukan diri sendiri, menjadi faktor utama konflik antar suporter di Indonesia. Kultur Jawa yang menghindar dari konflik dan tidak mau dipermalukan menjadi semacam dari anti-thesis dari sepakbola yang harus siap sedia untuk dipermalukan. Tetapi kultur Jawa pula yang memicu reaksi apabila penghinaan itu terjadi di depan umum dan sangat memalukan, maka ekspresi kemarahan dan anarkisme yang muncul untuk menjaga wibawa dan harga diri.

Kondisi ini yang memicu atmosfir panas Malang–Surabaya. Geng pemuda asal Malang yang dibantai oleh Bonek di tahun 1967 memicu perasaan dendam dari Arek Malang. Belum lagi persoalan rivalitas “number one”, dimana dalam level propinsi posisi Malang masih dibawah Surabaya. Sifat tidak terima Arek Malang menjadi nomor dua dibawah Arek Suroboyo ini membuat keduanya susah berjabat tangan. Persaingan atas dasar pride ini berlanjut pasca melorotnya prestasi Persema Malang, dimana Arema mengambil alih posisi rivalitas Malang-Surabaya tersebut.

Pergulatan harga diri ini terlihat jelas ketika Aji Santoso pindah dari Arema ke Persebaya, akhirnya Aji Santoso pun dianggap pengkhianat oleh Aremania. Ketika Aji Santoso ingin kembali ke Malang, ia pun harus melalui begitu banyak tim sebelum akhirnya mengakhiri karirnya bersama Arema Malang. Ahmad Junaedi pun menjadi korban rivalitas Aremania-Bonek. Ketika Ahmad Junaedi sudah menjadi bintang sepakbola nasional dan dibeli Surabaya, maka ketika Persebaya menawarkan Ahmad Junaedi untuk kembali ke Arema pun ditolak oleh Aremania. Akhirnya Arema pun lebih memilih untuk mengasah bakat Johan Prasetyo daripada memakai tenaga Ahmad Junaedi . Dalam hal simbol pun tantangan kepada Bonek juga dikumandangkan. Dengan pemilihan simbol singa menunjukkan bahwa di belantara Jawa Timur Arema ingin menjadi nomor satu, diatas Ikan Sura dan Buaya.

Arema menjadi identitas resistensi daerah terhadap pusat (Surabaya) , dimana melalui dialek jawa timur dengan tatanan huruf yang dibalik pada osob kiwalan khas Malang seolah menunjukkan bahwa Arema menjadi identitas kultural masyarakat Malang. Selain itu Arema juga merupakan pemersatu warga kota Malang yang sebelumnya terpecah pada beberapa desa/wilayah/daerah. Arek Malang selalu berusaha membedakan dirinya dengan arek Suroboyo. Ketika arek Suroboyo itu bondho nekad, maka arek Malang itu bondho duwit. Ketika Bonek itu suka membuat kerusuhan, maka Aremania ingin menyebarkan virus perdamaian. Konflik identitas juga menjadi lahan rivalitas kedua kubu suporter besar Jawa Timur ini.


Kapitalisme Sepakbola 
Secara disadari atau tidak, fanatisme dan pertarungan kedua elemen suporter ini menjadi makanan empuk bagi kapitalisme. Sepakbola boleh jadi hari ini tidak hanya berbicara masalah sportivitas dan kesehatan, tetapi juga merambah dalam dunia politik dan ekonomi. Industri sepakbola menjadi salah satu bisnis yang menguntungkan bagi pengusaha-pengusaha kelas kakap hari ini, tentu dengan syarat mereka bisa mengendalikan iklim sepakbola itu sendiri.

Dalam hal konflik suporter di Jawa Timur, boleh jadi media massa menjadi provokator dalam berbagai peristiwa persepakbolaan di Jawa Timur. Sebagai contoh Jawa Pos misalnya, dimana secara eksplisit menyatakan keberpihakannya kepada Persebaya Surabaya. Dapat dimaklumi sebenarnya apabila melihat kantor redaksi yang berada di Surabaya serta posisi penting para pengurus Jawa Pos dalam kepengurusan Persebaya Surabaya. Dalam beberapa tulisan yang ada, Jawa Pos selalu menampilkan porsi lebih kepada Persebaya, bahkan tidak jarang dukungan kepada Bonek selalu mereka tuliskan dalam berita-beritanya.

PT Bentoel Prima Tbk yang pernah mengakuisisi Arema juga merasakan betul dampak menguntungkan bisnis sepakbola yang mereka bangun. Walaupun menghadapi hambatan begitu banyak dari pesaingnya , tetapi secara materiil PT Bentoel Prima Tbk mengalami keuntungan yang begitu besar dari sekedar pasang tulisan bentoel-arema di kaos para pemain Arema.

Bisnis sepakbola inilah yang sedang menguasai persepakbolaan modern hari ini. Di belahan dunia manapun, modernisasi sepakbola diikuti dengan berkembang pesatnya industri sepakbola. Dalam buku How Soccer Explains The World: An Unlikely Theory of Globalization, Franklin Foer menuliskan bahwa virus globalisasi telah merasuk kian dalam ke dunia sepakbola, dan faktor pride (kebanggaan/fanatisme) menjadi faktor ekonomi yang sangat menguntungkan bagi para kapitalis-kapitalis besar.


Kesimpulan 
Modernisasi dalam sepakbola secara tidak langsung diikuti oleh berkembangnya kapitalisme dalam ranah sepakbola. Seolah-olah menjadi kapitalis adalah syarat mutlak untuk mengembangkan sebuah persepakbolaan dalam negeri. Melihat realitas di lapangan, bukan tidak mungkin hal diatas benar adanya. Karena ketika mengembangkan sepakbola tanpa sokongan dana yang kuat tentu akan membuat sebuah badan, klub, atau kompetisi menjadi rontok. Hanya saja kekhawatiran muncul ketika suporter sepakbola dijadikan obyek untuk mengkapitalisasi sepakbola tadi, dimana pada akhirnya suporter sepakbola juga yang dipermasalahkan.

Terkadang, berdasarkan perbincangan dengan kawan-kawan pemerhati sepakbola nasional, kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di lapangan selalu diawali orang orang yang tidak jelas siapa pelakunya. Sebagai contoh ketika terjadi kerusuhan di Madiun, baik Aremania dan Laskar Sakera (pendukung Persekabpas Pasuruan) tidak tahu menahu siapa yang memulai melempari batu-batu ke arah penonton. Tetapi karena yang hadir di stadion saat itu adalah Aremania dan Laskar Sakera, tentu pada akhirnya bentrok fisik tidak dapat dihindari. Efek pasca kejadian hari itu adalah banyaknya toko-toko yang tutup di Madiun, image PT Bentoel Arema Tbk juga tercoreng, dan entah mengapa beberapa hari sesudahnya media massa begitu laku di pasaran.

Begitu pula yang terjadi saat kerusuhan Bonek di Stadion Gelora 10 November di Surabaya beberapa tahun lalu. Dimana mau tidak mau Aremania harus mengakui bahwa kemenangan PS Arema atas Persebaya Surabaya hari itu cukup kontroversial, ada kesan wasit memihak Arema. Kemenangan 2-1 untuk Arema pun harus dibayar mahal dengan perusakan stadion dan beberapa fasilitas umum beserta kendaraan pribadi oleh Bonek yang menonton hari itu.

Begitu banyaknya tangan-tangan tak terlihat yang bermain-main diatas konflik suporter tentunya harus diwaspadai oleh Aremania maupun Bonek. Jangan sampai begitu banyak orang mati sia-sia saat pertempuran kedua suporter tersebut ternyata hanya menjadi ‘mainan globalisasi’ oleh segelintir orang yang ingin mengambil keuntungan didalamnya. Untuk itulah perlunya melihat kembali sejarah konflik antar kedua elemen suporter ini, supaya kejadian-kejadian negatif dapat diminimalisir dan era baru yang lebih damai dapat tercipta.

Kultur masyarakat Jawa yang melingkupi konflik Aremania-Bonek seharusnya bukan menjadi kambing hitam atas berbagai peristiwa yang terjadi. Sudah seharusnya dua elemen suporter yang sudah dikenal akan militansinya ini berdamai dan menciptakan suasana kondusif dalam persepakbolaan nasional. Sudah saatnya baik Aremania maupun Bonek untuk mendewasakan diri dengan melihat dari kacamata modernisasi dan sportivitas dalam mendukung tim kesayangannya. Tidak ada salahnya Bonek turut bergabung dalam usaha mewujudkan suporter Indonesia damai, sehingga mampu membuat suasana stadion begitu damai dan orang tidak perlu takut untuk menyaksikan secara langsung pertandingan sepakbola di tanah air.



"Cita-cita saya, pagar besi pembatas tribun dengan lapangan nanti tidak perlu ada lagi. Jadi kita menonton sepakbola dengan enak, tidak ada perkelahian, tidak ada suporter yang mengganggu pemain. Saya juga ingin semua golongan bisa bersatu di sini. Kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, Cina atau bukan Cina, pejabat atau orang biasa, Islam atau Kristen, di sini semuanya bisa sama."
Yuli Sumpil – Dirigen Aremania

23 January 2010

Volksraad

1 komentar
Pendahuluan
Pemilu 2009 baru saja berakhir, dengan ini akan dimulailah babak baru pemerintahan legislatif di Indonesia. Para politikus yang terpilih juga terdapat beberapa muka-muka baru, dan tentunya akan membawa pemikiran yang lebih fresh pula. Walaupun menyisakan berbagai kekisruhan di berbagai bidang, penyelenggaraan Pemilu 2009 patut diapresasi dengan adanya rasa kemerdekaan memilih wakil rakyat, sebuah rasa yang tidak dialami oleh masyarakat Indonesia sebelumnya. Karena apabila kita melihat sejarah Indonesia, maka baru kali inilah bangsa Indonesia memilih secara langsung para wakil rakyat baik dari tingkat DPRD Kota hingga presiden kelak. Saat ini rakyat Indonesia benar-benar disuguhi pilihan yang cukup banyak dalam menyampaikan aspirasinya.

Tetapi melihat kinerja DPR selama 5 tahun terakhir pantas membuat masyarakat bimbang akan perubahan yang lebih baik, karena DPR seperti mengalami disfungsi dalam menyampaikan aspirasi masyarakat. Begitu banyak kasus-kasus kriminal yang muncul dari para pejabat tersebut, mulai dari tindakan asusila hingga kasus korupsi yang menyeret banyak pejabat tenar. Hal ini apabila kita menengok kembali ke Sejarah Indonesia pra-kemerdekaan, maka kita bisa berkaca pada volksraad (Dewan Rakyat) yang mengalami disfungsi dalam menyalurkan aspirasi rakyat Indonesia saat itu.

Volksraad (Dewan Rakyat) didirikan pada akhir tahun 1916 oleh Gubernur Jenderal von Limburgstirum. Beliau sengaja menciptakan volksraad agar semua permasalahan dan kekisruhan yang terjadi pada tanah jajahan Hindia Belanda dapat teratasi. Hal ini dilatarbelakangi oleh maraknya aksi massa dan protes petani terhadap regulasi cultuurstelsel (tanam paksa) yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Tidak meratanya otonomi daerah dan kemiskinan yang melanda masyarakat memicu terjadinya konflik-konflik dalam negeri yang dipicu ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Dalam kelahirannya, volksraad merupakan lembaga penasihat para gubernur jenderal dalam memberi kebijakan terhadap rakyat Hindia Belanda. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa wewenang dari volksraad amatlah sedikit, hingga tidak mampu menyampaikan aspirasi rakyat Indonesia. Sangat mirip dengan kondisi DPR RI dalam era sekarang, dimana DPR tidak mampu menjadi pihak pro-rakyat dan belum mampu menyampaikan aspirasi rakyat Indonesia secara maksimal. Disfungsi amanah inilah yang menjadi persamaan antara DPR saat ini dengan volksraad di masa lalu. Dari makalah berikut ini, semoga kita dapat mengambil hikmah serta menarik suatu benang merah akan kondisi sosial-politik Indonesia dari kacamata sejarah. Semoga kita semua dapat belajar dari volksraad, dan Dewan Rakyat Indonesia saat ini mampu lebih baik daripada volksraad di zaman Hindia Belanda dulu.


Latar Belakang Lahirnya Volksraad
Tahun-tahun permulaan abad ke-20 merupakan masa keemasan bagi negeri Hindia Belanda. Perkembangan ekonomi yang pesat akibat cultuurstelsel dan pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda mampu memodernisasikan Nusantara, sehingga rakyat saat itu mulai melangkah maju untuk membangun sebuah peradaban modern ala Eropa. Kemajuan peradaban ini pula yang pada akhirnya menumbuhkan semangat nasionalisme dari berbagai kalangan priyayi baru, entah itu dia membawa prinsip agama (Islam), sosialisme, bahkan nasionalisme. Inilah yang disebut politik etis, atau mungkin sebuah politik balas budi bangsa Eropa pasca eksploitasi besar-besaran dengan menerapkan cultuurstelsel di Nusantara.

Politik Etis merupakan gagasan dari C. Th. Van Deventer pada tahun 1899. Beliau menerbitkannya dalam sebuah artikel berjudul Een Eereschuld (Suatu Hutang Kehormatan) pada jurnal Belanda De Gids . Gagasan politik etis ini timbul pasca banyak kaum humanis yang melihat adanya eksploitasi dan penindasan kepada rakyat Indonesia. Salah satu tokoh yang cukup terkenal akan perjuangan gagasan politik etis ini adalah Douwes Dekker (Multatuli) yang menuliskannya dalam sebuah novel berjudul Max Havelaar (1860). Dalam pelaksanaannya, politik etis baru dipraktekkan pada tahun 1902 kala Alexander W.F. Idenburg diangkat sebagai Menteri Urusan Daerah Jajahan sekaligus Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dari politik etis, terutama pada dunia pendidikan, maka inilah yang menjadi penyebab utama tumbuhnya rasa ingin ‘merdeka’ pada kalangan priyayi di Jawa.

Selain faktor politik etis tadi, dalam memandang masalah munculnya volksraad tidak bisa dilepaskan dari masalah depresi ekonomi dunia dan Perang Dunia I. Akibat begitu melimpahnya produksi tanaman dari Hindia Belanda, hal ini memicu menurunnya harga-harga komoditas ekspor yang diambil dari wilayah Asia Tenggara. Hal ini berdampak pada lesunya perdagangan karena begitu murahnya harga yang disertai penimbunan-penimbunan yang dilakukan oleh pedagang Arab dan Cina di Nusantara.

Perang Dunia juga menjadi fokus utama dalam pembahasan mengenai penyebab dibentuknya volksraad. Karena masalah volksraad tidak dapat dilepaskan dari gagasan pembentukan indie werbaar (Pertahanan Hindia) yang dikampanyekan oleh Boedi Oetomo dan Sarekat Islam. Selain itu masalah Perang Dunia juga menghambat arus perdagangan dari Nusantara ke luar negeri, sehingga makin kacau saja perekonomian di Hindia Belanda. Pada masa-masa suram inilah partai-partai politik di Nusantara memegang peranan penting dalam usaha menuju Indonesia Merdeka .

Gagasan indie werbaar ini pada dasarnya adalah ide untuk membentuk milisi paruh-waktu yang terdiri atas orang-orang Indonesia , dengan adanya ‘jasa’ dari para milisi rakyat Indonesia ini diharapkan mereka mampu mengambil peranan penting dalam parlemen Kerajaan Belanda sehingga mampu mewujudkan sebuah otonomi khusus bagi Indonesia. Tetapi sayang, Ratu Wilhelmina menolak gagasan mengenai indie werbaar tersebut, tetapi gagasan mengenai pembentukan volksraad disetujui. Hanya saja posisi volksraad bukanlah lembaga legislatif, tetapi penasihat bagi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Kembali pada politik etis yang memicu lahirnya volksraad, maka alasan lain pendirian volksraad adalah dimulainya era desentralisasi pemerintahan Kerajaan Belanda. Proses ini dimulai pada tahun 1903 yang memunculkan Undang-Undang Desentralisasi , walaupun belum maksimal dalam pelaksanaannya. Tetapi perubahan adiministratif ini mencapai puncaknya dengan pembentukan Dewan Rakyat (volksraad) pada 1916.

Volksraad
Volksraad disetujui pembentukannya pada 16 Desember 1916 (Ind. Stb. No. 114 Tahun 1917) , tetapi pembentukan tersebut baru terlaksana pada 18 Mei 1918 oleh Gubernur Jenderal Graaf von Limburgstirum. Volksraad sengaja didirikan sebagai penasihat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, bukan sebagai parlemen perwakilan rakyat Indonesia. Tetapi oleh beberapa aktivis pergerakan nasional, volksraad digunakan sebagai wadah perjuangan mereka agar Indonesia dapat memerdekakan diri, atau setidaknya menjadi sebuah wilayah otonomi tersendiri.

Dalam proses pembentukan volksraad, proses ini diawali dengan pembentukan “Dewan Kabupaten” (Haminte Kota), di mana setiap 500 orang Indonesia berhak memilih “Wali Pemilih” (Keesman). Kemudian Wali Pemilih inilah yang berhak memilih sebagian anggota Dewan Kabupaten. Kemudian setiap provinsi mempunyai “Dewan Provinsi”, yang sebagian anggotanya dipilih oleh Dewan Kabupaten dan Haminte Kota di wilayah provinsi tersebut. Sebagian besar anggota Dewan Provinsi yang umumnya dari bangsa Belanda inilah yang diangkat oleh Gubenur Jenderal sebagai anggota volksraad. Proses berbelit dan tidak tampaknya keberpihakan kepada rakyat Indonesia inilah yang memicu banyak munculnya sentimen negatif terhadap volksraad, terutama dari kalangan gerakan kiri Indonesia.
Volksraad generasi pertama terdiri dari 39 orang, dimana 15 orang merupakan pribumi. Hal ini diperparah dengan sebagian besar pribumi yang ada di volksraad adalah orang-orangn konservatif (pegawai pemerintah), sementara jumlah pribumi lokal yang bersikap radikal hanya sedikit, itupun setelah ditunjuk oleh sang Gubernur Jenderal. Seiring berjalannya waktu, jumlah pribumi yang berada di volksraad juga ikut menaik, dimana pada mulanya hanya 39% saja pribumi yang ada volksraad, maka presentase itu bertambah pada tahun 1921 menjadi 40% dari 49 anggota, bertambah lagi menjadi 42% pada tahun 1927 dengan 60 anggota, dan menjadi 50% pada tahun 1930 .

Setelah volksraad terbentuk, maka kini partai-partai yang ada di Nusantara pun bersiap-siap. Sikap pragmatisme politik pun muncul di kalangan aktivis pergerakan nasional. Boedi Oetomo salah satunya, dimana sempat muncul upaya untuk meraih massa di luar Jawa dengan menggunakan Islam sebagai daya tarik. Hal ini akhirnya mampu digagalkan oleh Radjiman dan kawan-kawannya yang anti-islam, sehingga Boedi Oetomo masih berprinsip Jawa-sentris. Begitu juga dengan Sarekat Islam yang memperoleh tantangan dari sebagian besar anggotanya, terutama yang berada di Semarang. Sarekat Islam Semarang dibawah pimpinan Semaoen menyatakan penolakan terhadap keikutsertaan Central Sarekat Islam dalam mengkampanyekan indie werbaar dan menentang gagasan untuk duduk di dalam volksraad. Pertikaian internal dalam tubuh Sarekat Islam inilah yang kelak pada akhirnya memecah Sarekat Islam menjadi beberapa kelompok.

Walaupun menurut Gubernur Jenderal von Limburgstirum volksraad berhak untuk menyalurkan aspirasi rakyat Indonesia, dan mungkin kelak menjadi pusat perpolitikan Belanda yang dipindah ke Nusantara, serta status tanah jajahan akan segera diganti dengan status otonomi khusus. Tetapi pernyataan itu tidak pernah terwujud hingga Jepang memasuki wilayah Indonesia. Semaoen sendiri mengolok-olok volksraad bukan sebagai parlemen yang sesungguhnya (karena tidak demokratis) dan hanya merupakan komidi putar lengkap dengan panggung sandiwara. Hal ini karena fungsi volksraad yang hanya sebagai penasihat Gubernur Jenderal tanpa kewenangan untuk mengubah pemerintahan, tidak memiliki anggaran belanja, serta pembatasan-pembatasan fungsi legislatifnya .

Ketidakjelasan fungsi volksraad sebagai penyambung lidah rakyat inilah yang memicu kemarahan-kemarahan publik dan tidak terkontrolnya situasi politik di dalam negeri Hindia Belanda. Hal ini diperparah dengan krisis ekonomi global yang melanda dunia pada tahun 1927. Situasi menjadi panas dan pemberontakan mulai muncul dimana-mana. Kecaman-kecaman terhadap volksraad dan pemerintah Hindia Belanda mulai bermunculan dan mengarah pada pemberontakan (disintegrasi). Perlawanan-perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda juga mulai bermunculan, dimulai dari Pemberontakan PKI pada 1927 hingga perisitiwa kapal Zeven Provincien pada 1933. Hal ini memicu kekhawatiran tersendiri bagi pemerintah Hindia Belanda .

Pemerintah Hindia Belanda pun menjadi represif dalam menghadapi pergerakan nasional dan partai-partai politik yang ada di Nusantara. Sekolah-sekolah digeledah dan beberapa diantaranya ditutup, buku-buku politik disita, banyak guru yang dilarang mengajar, dan pemimpin-pemimpin partai politik ditangkap. Dalam keadaan seperti itu, seorang anggota volksraad yang berasal dari Jawa mengeluarkan sebuah petisi. Ia adalah Soetardjo Kartohadikoesoemo. Pada bulan Juli 1936 ia mengeluarkan sebuah petisi kepada volksraad untuk diselenggerakannya suatu konferensi untuk mengatur otonomi Indonesia dalam sebuah Uni Indonesia-Belanda selama kurun waktu sepuluh tahun .

Banyak kelompok yang mendukung petisi Soetardjo ini, oleh karenanya petisi inipun disetujui oleh volksraad karena banyak yang menginginkan kewenangan lebih luas. Tetapi memperoleh dukungan dari volksraad belum tentu akan menyelesaikan masalah di dalam negeri, karena petisi Soetardjo ini malah menimbulkan perpecahan kembali diantara partai-partai yang sudah ada akibat pro dan kontra. Lagipula pada akhirnya ketika petisi ini ditawarkan kepada Kerajaan Belanda, jawaban yang diberikan oleh pihak kerajaan adalah penolakan. Mosi perjuangan identitas untuk menyebut “Indonesier” daripada “Inlander” yang diupayakan oleh Thamrin, Soetardjo, dan Wiwoho juga menemui jalan buntu .

Perang Asia Raya yang sudah semakin dekat pun tak terelakkan lagi. Waktu yang semakin sempit tidak cukup bagi volksraad untuk memerdekakan Indonesia. Volksraad benar-benar tidak menjadi parlemen yang sesungguhnya akibat kegagalan memperjuangkan aspirasi rakyat. Ejekan Semaoen menjadi kenyataan bahwasanya volksraad hanya akan berputar-putar saja layaknya komidi putar. Pergerakan nasional pun tidak mempercayai lagi perjuangan melalui parlemen untuk Indonesia yang lebih baik, dan arah pergerakan ini kembali ke jalur semula: radikal.