14 July 2009

Bagaimana Kalau Penyebar Islam di Indonesia itu Orang Cina?

Judul Buku:
Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Indonesia



Prof. Dr. Slamet Muljana dalam buku ini banyak menulis mengenai teori-teori baru dalam masuknya Islam di Nusantara. Teori yang disampaikan oleh beliau sendiri bisa dibilang nyeleneh dan sangat kontroversial. Tema besar yang ingin diangkat ke permukaan oleh beliau sendiri adalah mengenai “Muslim Tionghoa” di Nusantara. Disini, Prof. Dr. Slamet Muljana memaparkan sebuah teori baru bahwa para penyebar Islam di Nusantara berasal dari golongan Tionghoa. Bahkan beliau berani menyatakan bahwa fakta-fakta yang beliau sajikan adalah fakta yang valid, sehingga berani menyingkirkan beberapa historiografi tradisi dan meletakkan historiografi tradisi itu hanya sebagai pembanding saja. Bahkan pada beberapa bagian terkesan menyalahkan sumber-sumber dari historiografi tradisi.


Disini beliau menganalisa mengenai sudah adanya golongan Tionghoa Muslim sebelum kerajaan Islam pertama di Jawa berdiri. Hal ini berdasarkan fakta mengenai Laksamana Cheng Ho yang merupakan seorang muslim dan sempat mendirikan komunitas Tionghoa di beberapa pelabuhan di Nusantara. Dari komunitas Muslim Tionghoa inilah teori-teori Prof. Dr. Slamet Muljana dimulai. Beliau menyebutkan bahwa Muslim Tionghoa ini sangat berperan dalam penyebaran agama Islam di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa. Bahkan beliau berani bertaruh bahwa pendiri kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa adalah seorang Tionghoa Muslim yang bernama Jin Bun, anak dari Kung Ta Bu Mi (Kertabhumi) dengan seorang Putri Cina. Setelah mengatasi pemberontakan di Semarang, Jin Bun pun diangkat sebagai bupati di Semarang hingga dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai Panembahan Jimbun atau Senapati Jimbun. Dan Senapati Jimbun inilah yang biasa kita kenal sebagai Raden Patah.


Tapi, teori mengenai Raden Patah yang merupakan seorang “chinese” ini segera terabaikan dengan pernyataan kontroversial dari Slamet Muljana sendiri yang menyatakan bahwa Walisongo merupakan para Muslim Tionghoa yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Bahkan delapan dari Sembilan wali itu adalah Muslim Tionghoa. Dimulai dari pernyataan bahwa Sunan Ampel merupakan pendatang dari Yunan yang memiliki nama asli Bong Swi Hoo, cucu penguasa tertinggi Campa (Bong Tak Keng). Lalu terdapat juga seorang wali yang sudah biasa dianggap oleh sejarawan sebagai pribumi tulen dalam Walisongo, yaitu Sunan Kalijaga. Disini dipaparkan bahwa Sunan Kalijaga yang memiliki nama asli Raden Said juga merupakan chinese keturunan. Raden Said disebutkan memiliki nama asli Gan Si Cang, anak seorang kapten Cina yang juga merupakan saudara ipar dari Sunan Ampel, Gan Eng Cu. Dan apabila kita membaca lebih dalam tentang buku ini, sangatlah kental akan aroma chinesentris dalam penulisan teori-teori baru ini.


Sayangnya sumber yang dipakai oleh Prof. Dr. Slamet Muljana ini cukup meragukan. Dalam salah satu artikelnya, Asvi Warman Adam menyebut bahwa teori-teori Slamet Muljana ini banyak mengambil kesimpulan dari novel “Tuanku Rao” karya Mangaraja Onggang Parlindungan. Sementara itu novel Tuanku Rao sendiri berdasarkan pada bab pembuka dari hasil penelitian Poortman. Jadi, baik Mangaraja Onggang Parlindungan maupun Prof. Dr. Slamet Muljana, keduanya belum pernah membaca naskah asli yang didapat Poortman dari klenteng-klenteng di Semarang. Dan Asvi sendiri berharap kelak sejarawan Indonesia juga meneliti sendiri sumber-sumber berbahasa Cina yang didapat dari klenteng-klenteng di Indonesia, sehingga kebenaran sejarah periode awal agama Islam di Jawa dapat terungkap dengan jelas.


Untuk melegitimasi teorinya, Slamet Muljana menggunakan teori bahwa Walisongo merupakan para Tionghoa Muslim untuk menarik minat masyarakat. Hal ini karena teori bahwa Raden Patah merupakan seorang Tionghoa keturunan sudah lama mencuat sejak pasca pemberontakan PKI pada 1928. Saat itu Poortman sendiri diutus untuk menggeledah klenteng-klenteng di Semarang guna mendapat bukti bahwa Raden Patah merupakan seorang Tionghoa. Dan naskah sebanyak tiga pedati yang ditemukan oleh Poortman itu dinilai sangat rahasia dimana hanya para pembesar Belanda saja yang boleh membacanya, bahkan hasil penelitian dari naskah itu hanya disalin sebanyak lima lembar dan tidak satupun yang berada di Batavia/Jakarta.


Sumber yang diambil oleh Prof. Dr. Slamet Muljana juga sangat sedikit. Hanya tiga sumber selain novel Tuanku Rao, yaitu Babad Tanah Jawi, Serat Kanda, dan sumber berita dari Portugis. Dan beliau dalam menggabungkan sumber-sumber tersebut benar-benar menyingkirkan dan memandang sebelah mata dua historiografi tradisi, yakni Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Dan juga mungkin beliau melupakan akan kemungkinan tentang adanya dua orang yang berbeda pada masa yang sama, sebagaimana beberapa teori yang menyebut bahwa Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah orang berbeda tetapi berada pada satu masa. Jujur saja saya disini kurang bisa menerima bahwa Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga adalah seorang Tionghoa, bukan karena sikap sentimen Tionghoa, tapi lebih kepada teori lain yang saya rasa lebih meyakinkan. Terutama menyangkut Sunan Kalijaga yang merupakan image “Sunan Pribumi” bagi masyarakat Jawa.

No comments:

Post a Comment