Sejarah adalah perjuangan identitas, inilah makna dari sejarah yang tepat bagi para sejarawan Kristen di Kerajaan Romawi pada masa awal Kristen mulai bangkit. Ketika masyarakat beserta penguasa sebagian besar masih menganut paganisme dan dimana Kristen pada saat itu merupakan minoritas, tetapi perjuangan para sejarawan Kristen saat itu melalui naskah-naskah dan buku-buku layak diberi apresiasi. Lagipula apa yang dilakukan oleh para misionaris kuno tersebut tidak sia-sia, dengan penetapan agama Kristen sebagai agama negara pada masa Kaisar Konstatinus.
Tetapi sebenarnya, ketika kita berbicara mengenai Sejarah Kristen di masa awal, bukan hanya pertarungan identitas saja yang menjadi fokus penulisan, tetapi juga pengakuan akan kebenaran agama mereka. Hal ini tercakup pada naskah injil yang ditulis oleh para sahabat dan murid Yesus sendiri. Dalam naskah-naskah tersebut lebih bersifat kronik berisi pengalaman-pengalaman mereka bersama Yesus. Salah satunya adalah Injil Yudas, yang ditemukan sekitar tahun 1970-an. Injil Yudas ini berisi mengenai sifat-sifat pribadi Yudas dalam ketaatannya pada Yesus. Naskah kuno seperti inilah yang menjadi historiografi-historiografi kristen awal.
Sehingga dapat dikatakan bahwa tulisan-tulisan sejarah yang ditulis oleh beberapa murid dan sahabat Yesus merupakan sumber primer mengenai sejarah Kristen di masa awal. Tulisan-tulisan tersebut juga bersifat sebagai kitab suci yang digunakan sebagai alat dakwah bagi penyebaran agam Kristen di dunia. Injil-injil pada masa awal kelahiran kristen inilah yang menjadi pegangan pokok bagi para misionaris.
Tetapi sayang, dalam proses penyebaran agama Kristen tersebut banyak menemui hambatan. Proses penyebaran agama Kristen ini dihalang-halangi oleh penguasa Romawi saat itu, hingga berujung pada penyaliban Yesus. Tetapi perjuangan penyebaran agama Kristen itu lalu dilanjutkan oleh para sahabat dan murid-muridnya. Sehingga dengan cara penyebaran seperti itu, pemeluk agama kristen semakin meningkat pesat. Pesatnya pertumbuhan pemeluk ini juga diikuti masalah tentunya, yaitu semakin kuat juga perlawanan yang dilakukan oleh kaum pagan.
Hal yang saling berlawanan ini tentunya menimbulkan konflik horisontal antara kaum Kristen dan Pagan. Pertarungan kedua-belah pihak inilah yang akhirnya memicu kebangkitan karya-karya historiografis nasrani-sentris pada masa awal Kristen. Pandangan yang muncul pada naskah-naskah historiografi Kristen adalah pandangan-pandangan anti-pagan dan filsafat Kristen. Penulisan-penulisan yang bersifat profan dan sakral menjadi warna tersendiri pada penulisan historiografi saat itu.
Semangat anti-pagan dan perjuangan penyebaran agama Kristen mendasari dibuatnya karya-karya historiografis oleh tokoh-tokoh agama Kristen saat itu. Salah satunya yang cukup kelihatan dalam memperjuangkan agama Kristen dalam kancah politik perkotaan kota Roma adalah karya Agustinus yang berjudul De Civitate Dei (City of God). City of God dibuat oleh Agustinus sebagai jawaban atas serangan-serangan kaum pagan yang menyalahkan kekristenan sebagai penyebab keruntuhan Kerajaan Romawi, karena pada saat itu Kota Roma sedang dikuasai oleh kaum Visigoth dan Kerajaan Romawi terkoyak-koyak akibat serangan Visigoth tersebut.
Kaum Pagan menganggap bahwa kehancuran Roma adalah kemarahan para dewa karena ada kaum Kristen yang menghuni kota tesebut. Hal ini langsung dibantah oleh Agustinus dalam bukunya yang berjudul De Civitate Dei tadi. Agustinus sebenarnya dalam menuliskan De Civitate Dei addalah akibat desakan sahabatnya, Marcellinus yang gerah terhadap serangan kaum pagan terhadap Kristen.
De Civitate Dei menerangkan bahwa sesungguhnya terdapat dua jenis negara, yaitu negara Allah (Civitas Dei) dan negara sekuler (Civitas Terrena). Hal ini mengacu pada konsep negara ideal menurut Plato. De Civitate Dei ini sebenarnya terdiri dari 20 buku yang terbagi menjadi 2 bagian besar. Bagian pertama adalah bagian yang menceritakan jatuhnya kota Roma sebagai suatu bencana (I-III) dan pemaparan konsep-konsep serta diskusi-diskusi tentang ilah-ilah orang kafir (IV-X). Bagian kedua (XI-XXIII) menjelaskan tentang asal-usul, perkembangan dan tujuan duniawi dan sorgawi kota-kota yang ada di dunia. Kehidupan di dalam negara Allah diwarnai oleh iman, ketaatan, dan kasih Allah. Negara sekuler diwarnai oleh dosa, keangkuhan, dan cinta yang egois.
Dalam, De Civitaten Dei, Agustinus menawarkan sebuah negara yang didukung oleh adanya ketuhanan yang nyata (dalam hal ini Kristen). Sebuah Negara Tuhan yang menjadi penguasanya adalah wakil Tuhan di muka bumi. Aturan-aturan yang berlaku pun juga aturan dari Tuhan, sehingga kasih Tuhan akan menaungi negara tersebut. Hal berbeda akan dialami oleh negara sekular, dimana ketidakjelasan akan dewa-dewa kaum pagan membuat negara sekular tersebut terjebak pada pragmatisme kekuasaan dan mendekatkan masyarakatnya pada hal-hal yang bersifat keduniawian. Sehingga tidak mengherankan karya Agustinus ini memicu kekuasaan absolut gereja di masa mendatang dan semakin berjayanya feodalisme di Eropa.
Karya historiografis pada masa itu tidak hanya membahas mengenai sejarah politik saja, tetapi terdapat juga beberapa karya yang membahas mengenai sejarah agama. Ketika membicarakan mengenai sejarah agama, maka yang paling berperan adalah Julius Sextus Africanus. Dalam bukunya yang berjudul History of The World (220 M), ia mengangkat tema kegelapan yang terjadi pada saat kematian Yesus. Ia juga sempat mengutip dan membantah pandangan Thallos yang menganggap kgelapan yang terjadi saat kematian Yesus hanyalah fenomena alam belaka (gerhana matahari). Walaupun kedua sumber ini (baik dari Julius Sextus Africanus dan Thallos) sudah hilang, tetapi George Syncellus sempat mengutipnya dalam Chronicle (800 M).
Gaius Seutenius Tranguillus juga merupakan salah satu sejarawan yang hidup pada masa Kristen awal. Dalam masa itu ia melahirkan sebuah karya yang berjudul De Vita Caesarium (The Live of Caesars) yang membahas para kaisar Romawi sejak Julius Cesar hingga Dominitan. Ketika ia membahas pada bagian Kaisar Claudius, ia menulis bahwa Claudius mengusir orang-orang Yahudi dari Roma karena keributan-keributan yang terjadi akibat hasutan Christus.
Dari kedua karya diatas, dapat terlihat jelas bahwa historiografi pada masa itu merupakan persaingan antara kelompok Kristen dengan Pagan. Kaum Kristen menghendaki adanya pengakuan status mereka sebagai warga Roma dan berjuang untuk penyebaran agama Kristen, sementara kaum pagan menolak hadirnya agama baru tersebut dan selalu mengkambinghitamkan agama Kristen dalam proses kemunduran Kerajaan Romawi.
Dari peristiwa-peristiwa yang berlangsung pada masa itu, terutama yang berkaitan dengan pertempuran antara paganisme dengan kristen, dapat terlihat bahwasanya Thedassius dalam mengeluarkan dekrit untuk membentuk agama Kristen sebagai agama negara, dan juga Konstantin I yang menjadi seorang raja Kristen pertama dan menetapkan sejumlah regulasi baru mengenai Kristen adalah hal yang mungkin dipaksakan untuk menciptakan kedamaian di negeri itu. Roma yang diambang perpecahan antara Kristen dan pagan tentunya membuat Konstantin harus berpikir keras mengenai solusi tepat bagi keduanya. Akibat inilah teori sejarawan modern mengenai penggabungan agama Kristen dan pagan yang dicetuskan pada Konsili Nicea muncul.
No comments:
Post a Comment