21 July 2009

Candi Sukuh

Menurut saya, Candi Sukuh yang terletak di lereng Gunung Lawu ini merupakan salah satu candi terakhir dalam kebudayaan Hindu di Indonesia. Hal ini dilihat dari adanya simbol lingga dan yoni berupa alat kelamin laki-laki dan perempuan yang dipahat secara realis. Begitu juga dengan lokasi pembangunannya yang terletak di daerah pegunungan yang merupakan wilayah pelarian para loyalis pemerintahan Hindu Majapahit saat mengalami kemunduran atau merupakan lokasi yang dipilih sang prabu sebagai tempat pengasingan setelah ia mangkat dari jabatannya. Sementara dari sisi historis, dapat diketahui bahwa Candi Sukuh dibangun pada masa Brawijaya I (Kertawijaya) berdasarkan sengkalan yang berbunyi gapuro buto abang wong yang menyimbolkan tahun 1359 Saka atau 1437 Masehi. Tetapi yang menjadi pusat pertanyaan atas teori tadi adalah kenapa Prabu Brawijaya “lari” hingga sejauh itu dari pusat kerajaan di sekitar utara Jawa Timur? Padahal, apabila melihat lokasi pusat pemerintahan Majapahit, maka masih terdapat beberapa lereng gunung lain yang lebih dekat daripada di Sukuh, bisa di sekitar lereng Gunung Lawu sebelah timur atau mungkin di sekitar Pegunungan Mahameru.

Dari segi bentuk, Candi Sukuh memiliki beberapa keunikan tersendiri apabila dibandingkan dengan candi-candi yang lain. Yaitu bentuk candi yang mirip dengan kuil-kuil pemujaan Suku Maya dan Suku Inca di Amerika Selatan. Secara bentuk memang candi ini tidak bercorak candi Hindu (baik model Jawa Timur maupun Jawa Tengah) atau candi Buddha, melainkan lebih ke arah punden berundak sebagaimana model tempat pemujaan manusia zaman prasejarah. Relief yang menghiasi candi pun unik, dimana relief itu begitu kasar, tebal, dan natural. Ciri khas relief Candi Sukuh adalah lebih tebalnya gambar-gambar di batuan tersebut dibandingkan dengan relief-relief di candi-candi yang lain. Dari segi gambar juga lebih kasar dan realis, sehingga perlambang manusia sebagai dewa (sebagaimana penggambaran sang raja sebagai dewa pada beberapa candi Hindu) hampir-hampir tidak ada. Dengan bentuk candi yang seperti punden berundak dan arca-arca yang lebih mirip seperti menhir, maka hal ini mengingatkan akan model-model pemujaan zaman prasejarah. Dapat dikatakan budaya asli Nusantara bercampur dengan budaya Hindu, dan akulturasi ini bercampur dalam bentuk Candi Sukuh. Sebuah pertanyaan lain muncul, mengapa candi yang notabene dibangun untuk menyucikan sang prabu ini tidak berbentuk Hinduisme, malah lebih berbentuk kepercayaan lama masyarakat Jawa. Padahal sudah jelas sang prabu adalah pejabat yang beragama Hindu, sehingga sewajarnya dibuatlah bangunan bercorak Hindu untuk sang prabu. Tetapi realitas Candi Sukuh memberikan gambaran bahwa Hindu hanya sekedar simbolik saja, sementara bentuk candi malah menganut corak keagamaan yang lama. Ada kemungkinan hal ini merupakan wujud agar sang prabu beserta para brahmana yang ada disekitarnya diterima oleh masyarakat asli yang masih menganut agama nenek moyang.

Dari segi fungsi, melalui model dan relief candi dapat diketahui bahwa candi ini dibangun untuk upacara ruwatan (penyucian). Dari bentuk simbolik candi menegaskan bahwa tempat ini dipakai untuk menyucikan sang raja hingga dia moksa (menghilang) di Candi Cetho. Tapi dari situ saya kembali pada pertanyaan yang tadi, mengapa sang prabu lari begitu jauhnya dari pusat kota menuju lereng Gunung Lawu sebelah barat hanya untuk menyucikan diri dan beristirahat untuk yang terakhir kalinya setelah kedudukannya sebagai raja dijatuhkan?

Satu hal lagi yang unik pada Candi Sukuh adalah paham Hindu-tantrayana yang begitu kental pada relief-relief candi. Bentuk phallus (alat kelamin laki-laki) dipahat secara vulgar, bahkan pada beberapa relief dan patung tampak menonjolkan alat kelamin pria maupun wanita. Dari sini saya timbul pertanyaan lagi, apa hubungan antara Hindu-tantrayana tadi dengan upacara penyucian Prabu Brawijaya? karena apabila ritual penyucian disana dilakukan dengan cara memberikan sesajen serta melakukan hubungan seksual (atau bahkan pesta seks?), maka hal ini mirip sekali dengan ritual-ritual paganisme yang salah satunya melakukan pesta seks untuk bertemu dengan Tuhan. Begitu juga dengan beberapa teori dalam menginterpretasikan tiga buah patung kura-kura di depan candi. Beberapa mengatakan bahwa patung kura-kura itu merupakan lambang dari bumi, sementara ada juga yang mengatakan bahwa patung kura-kura itu merupakan penjelmaan Dewa Wisnu, sehingga digunakan untuk menaruh sesajen dalam upacara ruwatan. Sementara menurut saya apabila dihubungkan dengan Hindu-tantrayana yang memuja kesuburan dan mirip dengan ritual paganisme, maka patung kura-kura tadi dapat berfungsi sebagai kasur untuk ritual hubungan seksual dalam usaha pertemuannya dengan Tuhan.

Begitu juga dengan lantai yang memiliki relief phallus dan vagina di gerbang candi. Saya hingga kini masih bertanya-tanya apa kira-kira fungsi dari lantai ber-relief tersebut. Sebagai simbolik, jelas relief tersebut menunjukkan budaya Hindu-tantrayana sebagai lambang kesuburan, tetapi sebagai fungsi saya masih belum mendapat informasi. Beberapa hal yang saya dapatkan menyangkut relief tadi, ada yang bilang bahwa relief tersebut sakral sehingga tidak ada yang boleh melewatinya kecuali seseorang yang dianggap berhak untuk melewatinya. Dan juga ada yang bilang area tersebut dipagari supaya pengunjung tidak lewat situ sehingga relief dapat terawat dan terhindar dari injakan kaki manusia. Tetapi saya lebih suka pada pendapat bahwa tempat itu memang sakral, mengingat mitos yang ada mengenai gerbang tersebut serta dua wajah dwarapala dan dua relief garuda yang mengitari sisi luar gerbang candi tersebut. Sebuah mitos tentang seorang wanita yang melewati (mungkin meloncati) relief tadi dan apabila dia tidak apa-apa, maka dia masih perawan, tetapi apabila baju yang ia kenakan sobek atau mungkin keluar darah dari kemaluannya, maka ia sudah tidak perawan atau bukan wanita baik-baik. Tetapi bila kita menghubungkan mitos tadi, maka hal itu akan berhubungan dengan budaya Hindu-tantrayana dan mungkin juga paganisme. Tetapi apabila dihubungkan dengan upacara ruwatan, maka masih menjadi pertanyaan yang cukup besar ketika menghubungkan antara ruwatan dengan seksualitas.

Mengenai inti pertanyaan dari saya tadi, akhirnya saya menemukan sebuah pendapat akan adanya kemungkinan sang prabu sengaja mencari tempat untuk mengasingkan diri dari segala hiruk-pikuk keramaian istana pasca ia mangkat dari jabatannya sebagai raja di Majapahit. Hal ini dikarenakan dalam beberapa referensi yang menyatakan bahwa seorang raja setelah mangkat dari jabatannya ia akan memilih untuk mengasingkan diri di pegunungan agar menjadi seorang brahmana. Dan mengapa ia tidak memilih Mahameru atau sisi timur Lawu, karena lokasi tersebut masih dekat dengan istana sehingga mungkin mengganggu ketenangannya.

1 comment:

  1. mas faris, bentuk phallus yang dipahat di candi itu memang lambang kesuburan (dalam arti positif), bukan mengarah pada pesta seks (sepertinya kesannya negatif), karena ada pemaknaan mendalam dari bentuk relief yang digambarkan di candi sukuh itu, relief itu bernama lingga yoni...
    Mendalami simbol itu dari sisi filosofi religius (Hindhu), berdasarkan keterangan Swami Harshananda (Principal Symbol of World Religions, 1978:7) yang menyebutkan bahwa Lingga dan Yoni, atau disebut Sivalinga, adalah simbol Tuhan Hindu yang universal. Secara bahasa, Sivalinga berasal dari kata Siva, yang artinya keberuntungan, dan Lingga, artinya satu tanda atau satu simbol. Sehingga itu berarti simbol Tuhan yang agung dan semesta yang sepenuhnya merupakan keberuntungan. Siva dapat juga berarti Yang Esa. Menurut agama Hindu, Tuhan yang menciptakan, memelihara dan menarik alam semesta ke dalam dirinya adalah Tuhan yang sama, Yang Esa. Sivalinga lah yang kemudian merepresentasikan Tuhan itu sendiri secara simbolik.

    Hindhu dengan faham Tantra dan kultus Çiva yang dominan memengaruhi masyarakat era Dinasti Sanjaya dan keturunannya, cukup menjelaskan fenomena simbol-simbol vulgar di bangunan-bangunan peribadatan mereka. Dalam tantra, lingga adalah simbol energi generatif, simbol Ayah, Tuhan Pencipta, yang biasanya diletakkan diatas Yoni sebagai simbol Ibu, atau alam semesta, ditopang oleh relief ular naga dan kura-kura. Pada prinsipnya, keduanya itu merupakan perlambang energi maskulin dan energi feminin, serupa Yin Yang. Perpaduan kedua unsur ini melahirkan sekaligus menyimbolkan sesuatu yang baru, yaitu kreasi, dan kesuburan.

    Konsep perpaduan ini memiliki pula relevansinya dalam bentuk-bentuk spiritualitas. Penyatuan lingga dan yoni melalui persetubuhan mengandung makna penyatuan dua unsur berbeda di alam, dan dianggap sebagai media spiritual untuk mencapai kesempurnaan. Persetubuhan merepresentasikan suatu proses harmonis dan timbal balik dalam tiap interaksi di alam semesta ini. Dengan kata lain ia tidak hanya hadir dalam bentuk hubungan seksual fisik, namun juga interaksi general dengan objek di sekitar kita, baik dalam konteks fisik maupun spiritual. Kesempurnaan baru bisa tercapai apabila manusia mampu mengatur interaksi tersebut dalam irama harmonis.


    Kura - kura merupakan penjelmaan dewa wisnu yang menopang dasar bumi
    selain itu dalam mitologi Hindu bentuk kura-kura raksasa melukiskan api magma . Karena itu disebut badawang nala. Kata ''badawang'' artinya kura-kura besar dan kata ''nala'' dalam bahasa Sansekerta artinya api. Api magma yang dibelit oleh kulit bumi berupa zat padat seperti tanah dan zat cair itu disimbolkan dalam mitologi Hindu sebagai kura-kura dibelit oleh dua ekor naga. jika kita hubungkan dengan pengetahuan geologi maka yang dimaksud dengan Bedawang Nala rupa-rupanya adalah magma api yang ada di kerak bumi. Jika magma itu bergerak maka akan menimbulkan gempa tektonik. Jika terjadi letusan gunung berapi maka lahar yang mengalir keluar tampak seperti kepala kuda yang menyala

    njelasan diatas pemungkin bsa memberi sedikit gambaran tentang relief yang terdapat di candi Sukuh...terima kasih

    ReplyDelete