21 April 2009

Inggit Garnasih dan Fatmawati : Antara Perjuangan dan Status Sosial

Ir. Soekarno adalah sang proklamator kemerdekaan Indonesia yang begitu kharismatik dan disegani banyak orang. Tinta emas sejarah Indonesia telah mencatat segala perjuangan Soekarno dalam membangun kemerdekaan Indonesia. Tetapi sayang, banyak tinta merah tertuang dalam perjuangannya setelah ia menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Dari persoalan pribadi beliau hingga ke persoalan eksternal beliau entah itu menyangkut kebijakan dalam negeri atau ketidak-tegasan beliau dalam menentukan sikap politik luar negeri yang akhirnya berdampak tidak jelasnya situasi politik dalam negeri.

Salah satu kenangan negatif tentang Soekarno adalah banyaknya istri-istri yang pernah beliau miliki. Hal ini berasal dari diri Soekarno sendiri yang menyukai perempuan cantik. Memang ini adalah persoalan pribadi beliau, tetapi bagaimanapun juga kehidupan pribadi seorang pemimpin pasti juga menjadi salah satu faktor dalam setiap keputusan politis yang pernah diambil. Manusia itu lebih banyak bersikap dan berfikir subjektif daripada objektif, karena ketika seseorang itu bersikap maka yang diperjuangkan adalah kepentingan dirinya. Begitu juga dengan Soekarno, segala keputusan dan kebijakan yang pernah beliau ambil pasti tidak bisa lepas dari faktor kehidupan pribadi beliau. Dan kehidupan pribadi seorang pemimpin pasti akan banyak disorot oleh orang-orang dibawahnya, ini karena seorang pemimpin adalah orang yang paling layak untuk ditiru serta mampu menjadi inspirator seseorang dalam perjuangan hidupnya.

Diantara sekian banyak istrinya itu, dua nama patut diberi apresiasi dalam sejarah Indonesia. Mereka adalah Inggit Garnasih dan Fatmawati. Inggit Garnasih adalah seorang ibu kos kala Soekarno kuliah di Holland Indlandsche School (sekarang ITB). Saat itu Soekarno memiliki seorang istri bernama Utari, putri dari HOS Tjokoaminoto. Sementara Inggit Garnasih adalah istri dari Sanusi, seorang pengusaha kaya yang juga pengurus Sarekat Islam afdeling Bandung yang mendapat rekomendasi dari HOS Tjokroaminoto agar merawat Soekarno di rumahnya.

Hubungan suami-istri antar Soekarno dan Utari tidak berjalan mulus. Soekarno lebih merasa menjadi kakak bagi Utari daripada menjadi suami. Bahkan, konon mereka belum sekalipun berhubungan suami-istri sejak menikah hingga bercerai. Soekarno sering menceritakan persoalan pribadinya itu pada ibu kosnya, Inggit Garnasih. Dan selayaknya ibu kos yang baik, Inggit pun sering mendengarkan keluh kesah Soekarno dan memberinya saran. Bahkan Inggit saat itu menyuruh Soekarno agar memperbaik hubungannya dengan Utari. Tetapi saran dari Inggit itu tak pernah dilaksanakan oleh Soekarno. Utari pun diceraikan dan dikembalikan ke ayahnya, HOS Tjokroaminoto.

Soekarno pun semakin dekat dengan Inggit Garnasih. Mereka terlihat akrab dan dekat hingga akhirnya timbul gunjingan-gunjingan dari orang-orang disekitar mereka. Sadar akan situasi tersebut, Sanusi pun rela melepas Inggit Garnasih. Bahkan dengan segala keikhlasannya, Sanusi berpesan kepada Inggit agar menjadi sandaran bagi Soekarno dan membantu perjuangan Soekarno dalam mewujudkan impiannya.

Dan mereka pun menikah. Inggit Garnasih benar-benar menjadi orang yang setia disamping Soekarno dalam perjuangan beliau untuk mewujudkan impiannya. Dia rela menemani Soekarno dalam masa-masa tersulit perjuangan beliau. Bahkan ketika Soekarno telah putus asa dan kehilangan jalur dalam perjuangannya, Inggit lah yang selalu berusaha mengingatkan dan menyemangati beliau. Ketika Soekarno ditahan di Penjara Sukamiskin dan dibuang ke Ende (Flores) serta ke Bengkulu, Inggit Garnasih setia tetap disampingnya. Bahkan ia menguras tabungannya, menjual perhiasan, dan menjual segala harta benda untuk membiayai segala aktivitas Soekarno dalam dunia pergerakan.

Ketika Soekarno diasingkan di Bengkulu, hadirlah sosok Fatimah dalam kehidupan Soekarno dan Inggit Garnasih. Fatimah lahir pada 5 Februari 1923 dari pasangan Hassan Din dan Siti Khatidjah. Ketika Soekarno diasingkan di Bengkulu, Fatimah sering bermain ke rumah Soekarno karena ia adalah kawan sepermainan anak angkat Soekarno. Fatimah juga akrab dengan Inggit Garnasih, bahkan Inggit menganggap Fatimah seperti anaknya sendiri.

Sayangnya Inggit memiliki satu kekurangan yang menjadi sebuah pukulan telak baginya. Inggit tidak mampu menghadirkan keturunan bagi Soekarno. Inggit adalah seorang perempuan mandul. Walaupun saat itu Soekarno dan Inggit memiliki dua anak angkat, Soekarno tetap menginginkan keturunan langsung dari dirinya. Sayangnya hal itu tak mampu diberikan oleh seorang Inggit Garnasih.

Dan Fatimah pun menjadi solusi dalam pikiran Soekarno. Beliau lalu mengajak Fatimah untuk menikah, tetapi Fatimah memiliki prinsip bahwa dia tidak bersedia untuk dimadu. Begitu juga ketika Soekarno berkata ingin memadu Inggit, dengan tegas Inggit menolak keinginan tersebut. Ia mengijinkan Soekarno untuk menikah lagi dengan Fatimah, tetapi ia meminta untuk diceraikan terlebih dahulu. Inggit Garnasih lebih memilih merelakan diri untuk bercerai dengan Soekarno daripada harus dimadu oleh Soekarno. Dia merelakan segala kesempatan menjadi seorang first lady bagi bangsa Indonesia.

Dengan segala pertimbangan dan keputusan dari rapat antara Soekarno, Moh. Hatta, K.H. Mas Mansjur, dan Ki Hadjar Dewantara, maka diambil keputusan bahwa Soekarno hendak menceraikan Inggit dan menikahi Fatimah. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1942. Dengan ditemani K.H. Mas Mansjur, Soekarno mengantarkan Inggit Garnasih kembali ke kediaman keluarganya. Dan melalui sebuah pertemuan yang dingin dan kaku dengan keluarga Inggit Garnasih, Soekarno pun menceraikan ia dan mengembalikan Inggit kepada orangtuanya. Sebuah doa dan harapan diberikan Inggit kepada Soekarno ketika proses perceraian itu telah usai, doa itu berbunyi : “Selamat jalan dan semoga selamat dalam perjalanan”.

Pada tahun 1943 Fatimah dibawa ke Jakarta. Sesampainya disana, nama Fatimah diganti oleh Soekarno menjadi Fatmawati yang berarti “bunga teratai”. Ketika mereka menikah, umur Soekarno 41 tahun dan Fatmawati 19 tahun. Fatmawati banyak menemani perjuangan Soekarno pada saat mendekati proklamasi kemerdekaan dan masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Beliau turut menorehkan tinta emas dengan menjahit bendera pusaka merah-putih dengan tangan beliau sendiri, bendera itu digunakan pada saat upacara proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Bahkan ketika golongan pemuda menculik Soekarno dalam peristiwa Rengasdengklok, Fatmawati turut serta menyertai Soekarno dengan membawa Guntur yang saat itu mash bayi. Fatmawati pun menjadi ibu negara setelah proklamasi dikumandangkan. Walaupun dirinya adalah ibu negara, tapi kehidupannya lebih merakyat dan inklusif. Dia berusaha membangun image menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik bagi keluarga. Keluarga Soekarno dan Fatmawati ini menghasilkan lima anak, mereka adalah Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh.

Sayang, semakin tua usia Soekarno tidak membuat sadar dirinya sudah ‘bau tanah’. Soekarno malah melirik wanita-wanita cantik dalam usianya yang semakin menua. Fatmawati yang memiliki prinsip menolak dimadu membuatnya memilih jalan cerai ketika Soekarno hendak menikahi Hartini. Fatmawati menanggalkan statusnya sebagai ibu negara dan merelakan semua fasilitas-fasilitas yang diperolehnya ketika masih menjadi istri Soekarno. Beliau bahkan rela hidup miskin dan benar-benar memulai dari nol di Jl. Sriwijaya, Cilandak, sambil merawat kelima anaknya. Fatmawati akhirnya meninggal pada tahun 1988 sepulang dari menunaikan umrah ke Tanah Suci. Fatmawati dikenal sebagai seorang ibu negara yang bersahaja, menyayangi keluarga, suka menolong serta memiliki keteladanan bagi keluarga dan masyarakat.

2 comments:

  1. Salam kenal

    Tulisan tentang sisi lain sang Proklamator. semoga bisa menjadi bacaan tentang sudut pandang multi dimensi bagi seorang pemimpin... akan menjadi bahan bagi generasi muda calon pemimpin bangsa.

    Salam

    Linja

    ReplyDelete