31 January 2009

Proses

Kesuksesan akan kehilangan semacam sense apabila hadir tanpa sebuah proses panjang nan keras. Ketika sebuah keberhasilan itu timbul melalui sebuah proses dan perjuangan yang cukup keras, tentunya akan terasa manis sekali keberhasilan yang diraih. Hal itu akan berbeda dengan sebuah keberhasilan yang diraih melalui hal yang instan, dimana manisnya perjuangan tidak dapat dirasakan karena tiadanya proses (jalan) menuju keberhasilan tersebut. Tetapi sungguh ironis menemukan kenyataan bahwa dalam masyarakat modern saat ini banyak yang mengesampikan makna “proses” tersebut. Saat ini masyarakat lebih tertarik akan hal-hal yang instant, dimana mereka dapat menghasilkan sesuatu tanpa harus berusaha keras. Bila yang disebutkan tadi merupakan sebuah thesis, maka antithesis yang dihasilkan adalah masyarakat ini akan mudah sekali hancur. Hal ini karena ketiadaan proses tersebut membuat apa yang dihasilkan menjadi tak bernilai dan kurang bermakna.

Cukup banyak contoh kasus yang membuktikan akan pentingnya sebuah proses panjang. Kemerdekaan Indonesia tentu tidak akan bertahan selama ini apabila tanpa sebuah proses perjuangan yang telah digelorakan sejak awal abad ke-20. Proses panjang kemerdekaan Indonesia yang telah diperjuangkan sejak lama oleh para aktivis organisasi pro-kemerdekaan macam Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tjokroaminoto, Semaoen, dll akhirnya membuahkan hasil berupa proklamasi kemerdekaan Indonesia. Perjuangan pengakuan Indonesia yang dilalui selama kurang lebih 45 tahun membuahkan kemerdekaan hingga sekarang yang berumur 63 tahun. Proses panjang dalam waktu yang cukup lama serta melalui sebuah perjuangan yang sangat keras ini menghasilkan manisnya pembangunan di Nusantara. Bagi mereka yang mengalami saat-saat perjuangan, Kemerdekaan Indonesia menjadi sesuatu yang sangat mahal harganya. Mereka yang merasakan pahitnya perang kemerdekaan tidak akan pernah mengijinkan bangsa ini mengalaminya kembali. Mereka yang merasakan begitu menderitanya dibawah penjajahan kolonial Belanda akan sangat mensyukuri betapa nikmat secuil kesejahteraan akan pembangunan dalam beberapa kurun waktu terakhir. Proses membuat segala hal menjadi manis bagi mereka yang menjalaninya.

Begitu juga dalam sebuah kurikulum pendidikan, sebuah perguruan tinggi sekaliber internasional sekalipun tidak akan mampu menghasilkan alumnus unggulan tanpa melalui sebuah proses panjang. Justru walaupun perguruan tinggi tersebut hanya sekelas kecamatan, tetapi ketika perguruan tinggi tersebut mampu menghadirkan sebuah proses panjang dalam usaha penciptaan ‘intelektual muda’, maka dapat diyakini bahwa sang intelektual yang lahir dari perguruan tersebut benar-benar seseorang yang berkualitas dan bermutu tinggi. Inilah yang menjadi pemikiran dan kegelisahan penulis dalam merenungi akan pentingnya proses panjang. Sebenarnya penulis cukup kecewa akan program pembatasan waktu kuliah dan program percepatan kelulusan yang ada di kampus bertaraf internasional ini. Kecewa karena program tersebut terkesan memaksakan waktu kelulusan bagi mahasiswanya, dan juga karena program tersebut mengatur supaya tidak boleh ada mahasiswanya yang ‘abadi’ serta digunakan untuk mencetak mahasiswa unggul dengan kuantitas yang cukup banyak dalam waktu yang cepat (antara 3 – 4 tahun). Maka hal yang terjadi adalah semacam pemadatan mata kuliah pada angkatan baru yang memasuki universitas tersebut.

Pemadatan ini merupakan puncak kekecewaan penulis terhadap kurikulum yang baru diterapkan. Pemadatan mata kuliah ini dapat berupa tingginya poin SKS atau penggabungan mata kuliah. Dalam hal penambahan poin SKS, hal ini membuat semacam kekhawatiran baru pada mahasiswa. Sebagai contoh ketika mendapati sebuah mata kuliah dengan jumlah SKS hingga mencapai 5 poin, maka dari luar sudah dapat diketahui bahwa ‘harga’ mata kuliah tersebut berkisar antara Rp.300.000,- hingga Rp.375.000,-. Dapat dibayangkan betapa mengerikannya apabila hingga mengulang mata kuliah tersebut karena memperoleh nilai yang cukup buruk. Belum lagi ketika sang mahasiswa mendapat nilai buruk pada kuliah tersebut, otomatis ia kehilangan 5 SKS, dan itu sudah pasti kehilangan nilai yang cukup besar bagi mahasiswa yang dituntut memperoleh 144 SKS sebagai syarat kelulusan.

Begitu juga dengan penggabungan beberapa mata kuliah, hal ini penulis rasa cukup merugikan bagi mahasiswa. Cukup merugikan karena pada akhirnya hasil yang diperoleh juga tidak maksimal. Malah yang penulis alami adalah ‘belajar otodidak’ dalam memahami mata kuliah tersebut. Dalam hal ini karena penulis merupakan mahasiswa Ilmu Sejarah, cukup mengecewakan ketika mengetahui bahwa mata kuliah Sejarah Eropa Kuno, Sejarah Eropa Pertengahan, dan Sejarah Eropa Modern digabung menjadi satu mata kuliah yang bernama Sejarah Eropa. Hasil dari pembelajaran Sejarah Eropa yang penulis rasakan pun tidak maksimal. Dapat dibayangkan betapa sulitnya untuk mempelajari Sejarah Eropa sejak zaman Fenisia hingga zaman Uni Eropa saat ini dalam waktu hanya satu semester. Hal ini sama halnya dengan mempelajari Sejarah Nusantara sejak zaman Mulawarman hingga zaman Soesilo Bambang Yudhoyono, dan hanya diberi waktu satu semester (kurang dari enam bulan) untuk memahaminya. Padahal pada kenyataannya mata kuliah Sejarah Indonesia sendiri dibagi dalam beberapa bagian dengan jangka waktu 4 hingga 5 semester.

Dari hal diatas terlihat sekali bahwa proses kini bukan merupakan hal yang penting bagi kurikulum perguruan tinggi di Indonesia saat ini. Universitas di Indonesia saat ini lebih mementingkan jumlah daripada kualitas. Banyak contoh pada beberapa universitas yang mengikuti persepsi semakin banyak meluluskan mahasiswanya maka universitas tersebut semakin bermutu tinggi. Tidak mengherankan apabila saat ini jumlah ‘intelektual muda yang berkualitas’ semakin berkurang, bahkan sangat sedikit. Tidak mengherankan pula bila masih banyak sarjana di Indonesia yang menganggur. Karena kurikulum dan daya saing yang dibangun antar-universitas saat ini lebih mengedepankan nilai dan kuantitas lulusan, bukan kemampuan dan kualitasnya.

Sudah saatnya masyarakat Indonesia saat ini mulai memaknai akan pentingnya sebuah proses bagi kehidupan. Tidak ada sesuatu yang instan di dunia ini yang mampu menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Bahkan dalam hal makanan pun mie instan merupakan mie yang lebih buruk dan murahan apabila dibandingkan dengan mie yang dibuat dari terigu dengan tangan manusia. Sesuatu yang lahir dari sebuah proses panjang akan lebih baik hasilnya daripada yang muncul dari hal yang instan. Proses itu memang lambat dan memerlukan waktu yang cukup lama, tetapi perubahan yang dihasilkan dari sebuah proses panjang Insya Allah akan membawa kebaikan bagi semua. Wallahu’alam Bisshawwab.

Terakhir, sudah saatnya kita berbenah. Sudah saatnya kita berjuang bersama untuk Indonesia yang lebih baik. Sudah saatnya kita menciptakan sebuah proses perubahan. Kita adalah mahasiswa, para intelektual muda yang diharapkan mampu menjadi agent of change bagi nasib rakyat Indonesia. Kita adalah mahasiswa, para pemuda yang belajar ilmu pengetahuan supaya mampu membebaskan bangsa dari kebodohan. Pendidikan adalah cahaya pembebas dari kegelapan. Dan pendidikan juga bukan merupakan komoditas bisnis, apalagi mainan, bahkan sebuah bahan percobaan. Pendidikan adalah sebuah lilin, dimana apabila kita memaknainya sebagai sumber ilmu, maka lilin itu akan menjadi terang benderang dalam kegelapan. Sangat berbeda apabila pendidikan dijadikan sebagai kelinci percobaan, atau mungkin menjadi sebuah komoditas bisnis, maka pendidikan itu akan redup dan tidak lama kemudian mati. Tidak ada intelektual yang dilahirkan secara instan, dan tidak ada pendidikan instan yang mampu melahirkan para penggerak perubahan. Sudah saatnya pendidikan Indonesia juga memaknai akan pentingnya proses panjang dalam melahirkan para intelektual muda yang berkualitas tinggi. Semoga perspektif mutu pendidikan Indonesia dapat berubah, bukan kuantitas yang terpenting, tetapi kualitas.

Hidup mahasiswa Indonesia!!!

1 comment:

  1. salam kenal teman....Antara, Fasis, Totaliter, Komunis, dan Tiran menurutku artikel bagus yg pernah Faris tulis. pemuda(mhswa)adl agen perubahan..dari tulisan Faris itu ada pertanyaan: bagaimana pendidikan yang dapat menelorkan insan2 pengubah ke kemajuan? apa patokan suatu perubahan dan perkembangan? tentang pemerintahan, apa pandangan faris ttg pemerinthan yang baik?
    thk banget....
    senang bila kita dapat bertemu dan berdiskuasi.
    salam dari gelandangan jogja.....

    ReplyDelete