20 May 2009

Ketika Reformasi Bukan Merupakan Solusi

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu berusaha merubah nasibnya sendiri” (QS. Ar-Ra’d : 11)

Mei ini, sudah sepuluh tahun reformasi bergulir. Perubahan demi perubahan sudah terjadi sejak era kejatuhan Soeharto hingga masa empat tahun kepemimpinan SBY sekarang. Sepuluh tahun, semestinya rakyat sudah mulai menikmati hasil dari perubahan yang dituntut oleh ribuan mahasiswa angkatan ‘98 yang menginginkan reformasi di segala bidang. Tetapi realitas yang ada saat ini adalah pemerintah yang tidak mampu mengurusi rakyatnya. Hingga saat ini pemerintah belum mampu menuntaskan kasus korupsi yang melibatkan elite pejabat tinggi. Pemerintah juga tidak mampu mengendalikan kenaikan harga bahan pokok yang semakin membumbung tinggi. Satu pertanyaan, mengapa setelah 10 tahun reformasi kesejahteraan rakyat tidak semakin meningkat?

Satu jawaban ditemukan, yaitu belum berpihaknya kebijakan-kebijakan pemerintah kepada rakyat kecil. Kebijakan-kebijakan pemerintah saat ini semakin menguntungkan para pengusaha-pengusaha besar. Privatisasi terjadi di segala bidang, bahkan kapitalisme pendidikan pun menjadi hal yang ditargetkan oleh pemerintah. Rakyat pun semakin lama semakin terinjak-injak harkat dan martabatnya.

Dalam sebuah diskusi dengan seorang dosen, beliau mengatakan bahwa negeri ini sedang mengalami krisis kepemimpinan, dimana tidak adanya seorang leader yang mampu mengurusi rakyat. Dahulu ketika angkatan ’66 menjatuhkan pemerintahan Orde Lama, seorang pemimpin bernama Soeharto sudah dipersiapkan untuk menggantikan Soekarno. Sementara itu angkatan ’98, membuat sebuah kesalahan fatal dengan tidak mempersiapkannya seorang calon pemimpin yang mampu menggantikan Soeharto. Habibie maju sebagai presiden, tapi laporan pertanggungjawabannya ditolak. Lalu Gus Dur menggantikannya, malah dijatuhkan lagi. Setelah itu Megawati maju, tetapi tidak dipilih lagi. Dan akhirnya melalui sebuah pesta demokrasi SBY naik sebagai presiden, tapi pemerintahannya terus disorot negatif.

Reformasi terjadi karena pemerintahan Orde Baru Soeharto disorot dengan image tiran dan diktator. Demokrasi memang menjadi dasar pemerintahan ini, tapi demokrasi Orde Baru adalah demokrasi yang dimanipulasi. Oposisi saat itu haram hukumnya ada di Indonesia, semua yang berani mengkritisi dan melawan pasti dibungkam. Suasana kebebasan benar-benar tidak dirasakan oleh masyarakat. Hingga akhirnya terjadilah krisis finansial Asia yang membuat rupiah anjlok dan harga-harga membumbung tinggi. Menjelang akhir masa jabatannya yang keenam kali, Soeharto membacakan pidato pertanggungjawabannya di gedung DPR/MPR. Tetapi pidato pertanggungjawaban itu ditolak oleh puluhan mahasiswa UI yang berdemonstrasi di depan gedung DPR/MPR.

Tetapi Soeharto akhirnya terpilih kembali sebagai presiden untuk ketujuh kalinya dengan menggandeng B.J. Habibie sebagai wakil presiden. Dalam kabinet yang dinamai “Kabinet Pembangunan VII” itu, Bob Hasan dan Siti Hardiyanti Rukmana juga terpilih menjadi menteri. Mahasiswa pun semakin gencar berdemonstrasi menuntut adanya reformasi, tetapi Soeharto menyatakan bahwa reformasi itu sendiri baru mungkin terjadi pada tahun 2003. Demonstrasi mahasiswa pun semakin besar, di beberapa kota bahkan sempat terjadi bentrokan antara mahasiswa dengan aparat. Soeharto pun meralat pernyataannya dengan mengatakan bahwa reformasi bisa dimulai saat ini.

Kenaikan harga BBM mencapai 71% membuat mahasiswa mengamuk. Demonstrasi pun kembali marak di beberapa kota, bahkan berujung pada kerusuhan. Di Medan setidaknya dilaporkan 6 orang meninggal akibat kerusuhan antara mahasiswa dan masyarakat melawan aparat keamanan. Sementara itu di Cimanggis terjadi sebuah perang antara aparat keamanan dengan mahasiswa Universitas Jayabaya yang mengakibatkan 52 orang mahasiswa terluka parah. Lalu di Yogyakarta, massa dari Universitas Sanata Dharma yang ingin bergerak menuju Bunderan UGM dan bergabung dengan massa dari Universitas Gadjah Mada dihalang-halangi oleh aparat sehingga menyebabkan kerusuhan yang terjadi di sekitar Jl. Gejayan dan mengakibatkan satu orang mahasiswa yang bernama Moses Gatutkaca meninggal dunia.

Seolah tak peduli dengan keadaan dalam negeri, Soeharto pun pergi ke Mesir dalam rangka menghadiri KTT G-15. Esoknya pun Tragedi Trisakti terjadi, dimana 4 Mahasiswa terbunuh. Peristiwa ini menjadi awal mula dari kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Tuntutan mundur kepada presiden Soeharto menggema di seluruh Indonesia. Sementara itu di Yogyakarta 500.000 orang berdemonstrasi dibawah pimpinan Sultan Hamengkubuwono X. Dan akhirnya perjuangan mahasiswa bersama rakyat memberi hasil dengan mundurnya presiden Soeharto dari jabatan Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998 pasca mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR.

Lalu, bagaimana keadaan Indonesia pasca reformasi? Indonesia berubah menjadi lebih demokratis, dimana semua orang berhak berteriak-teriak menyuarakan aspirasinya. Kebebasan dan liberalisme seolah menjadi dasar dari segala pemikiran masyarakat Indonesia. Begitu juga dengan pemerintah yang masih saja meneruskan demokrasi-liberal era Soeharto. Bahkan kini bukan hanya demokrasi-liberal yang menjadi dasar pemikiran pemerintah, tetapi demokrasi-kapitalis juga menguasai otak para elite pejabat. Dan pada akhirnya yang berkuasa bukanlah rakyat, melainkan para pemilik modal yang dengan rakusnya mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia melaui undang-undang yang mereka buat.

Pembangunan yang tidak berkesinambungan menjadi salah satu penyebab lambatnya peningkatan kesejahteraan rakyat pasca reformasi. Sering terjadinya pergantian kabinet menyebabkan sering berubahnya kebijakan-kebijakan pemerintah. Bahkan efek demokrasi memberikan kesempatan bagi seseorang untuk menjatuhkan penguasa dengan mudah dan menggantinya dengan penguasa yang baru dan tentunya dengan kebijakan yang baru pula. Pemberantasan korupsi dengan sistem ’tebang pilih’ juga bisa disebut sebagai penyalahgunaan amanah dalam melaksanakan agenda reformasi. Rata-rata koruptor yang ditangkap adalah mereka yang tidak memiliki posisi politis yang kuat. Sementara itu para elite pejabat yang korup masih berkeliaran bebas, bahkan ikut serta dalam membuat kebijakan pemerintah. Dari golongan militer, arogansi mereka juga masih belum hilang. Yang hilang saat ini baru sebatas ’dwifungsi ABRI’, tetapi sayangnya profesionalitas dan sikap merakyat masih belum bisa ditemukan dari golongan ini.

Nah, lalu buat apa reformasi apabila keadaan rakyat tidak berubah? Apa gunanya reformasi apabila rakyat masih menderita? Apakah dengan berubahnya suasana dari otoriter ke demokratis rakyat bisa kenyang? Apakah dengan gonta-ganti presiden dan kabinet rakyat hidup senang? Fakta menunjukkan bahwa saat ini rakyat lebih melarat daripada saat Orde Baru, walaupun saya tak menampik bahwa saat ini rakyat lebih bebas daripada saat Soeharto berkuasa. Tetapi demokrasi-kapitalisme yang diusung oleh pemerintah sekarang tidak mungkin mampu mensejahterakan rakyat Indonesia.

Bangsa ini butuh revolusi, bukan reformasi. Bangsa ini lebih membutuhkan perubahan daripada hanya sekedar ’penggantian’. Reformasi bukanlah revolusi. Reformasi hanya mengagendakan sebuah perubahan kecil guna menyesuaikan dengan apa yang terjadi di sekitar. Sementara revolusi menuntut semua perubahan dari hal yang paling kecil sampai yang terbesar. Lagipula dengan bertahannya para pewaris Orde Baru dalam jajaran pemerintahan hanya membuat pemerintah seperti para penari Orde Baru yang bertopeng ’Reformasi’. Satjipto Rahardjo, sosiolog hukum dan guru besar dari Universitas Diponegoro Semarang dalam sebuah makalahnya mengatakan ”Sebuah rezim tidak sama sekali diambrukkan karena masih dibiarkannya ‘orang lama’ ikut berperan dalam wilayah dan jabatan politik”

”ketika rakyat semakin tertindas dan tertekan, maka itulah awal mula revolusi”

No comments:

Post a Comment