27 May 2009

Leopold von Ranke: Karena Sejarah Adalah Kebenaran!

0 komentar
“Sejarah telah menugasi dirinya untuk menilai masa lalu dan untuk menyusun catatan demi kemaslahatan masa depan. Menunjukkan hal-hal yang belum ditunjukkan oleh catatan yang sekarang ada; tugas semata-mata untuk menunjukkan apa yang senyatanya terjadi”


Frase diatas merupakan tulisan Ranke pada bukunya yang berjudul History of The Latin and Teutonic Nations, dimana dia sangat berharap bahwa sejarah merupakan sebuah catatan kebenaran yang diambil dari hieroglyph suci dan pertarungan antar perspektif dan fakta. Marnie-Hughes Warrington dalam buku 50 Tokoh Penting Dalam Sejarah malah menyebut Ranke sebagai seorang sejarawan tanpa warna, dimana tidak terdapat emosi dalam tulisan-tulisannya serta sangat obyektif, walaupun mengenai obyektifitas Ranke ini masih diperdebatkan oleh para sejarawan.

Sang sejarawan Jerman ini dikenal sebagai bapak penulisan sejarah, karena prinsip kritik sumber yang beliau perkenalkan kepada dunia luar. Selain itu dunia mengenal beliau sebagai ilmuwan sejarah yanng melahirkan karya-karya brilian antara lain Geschite der Romanischen und Germanischen Volker von 1494 bis 1514 (History of The Latin and Teutonic Nations from 1494 to 1514), Die römischen Päpste in den letzen vier Jahrhunderten (The Roman Popes in the Last Four Centuries), Hardenberg und die Geschichte des preussischen Staates von 1793 bis 1813 (Hardenberg and the History of the Prussian State from 1793 to 1813), dan Weltgeschichte - Die Römische Republik und ihre Weltherrschaft (World history: the Roman Republic and its world rule).

Masa Muda
Leopold Ranke dilahirkan di Wiehe pada 21 Desember 1795 dalam sebuah keluarga penganut Lutheran yang taat. Sang ayah, Gottlob Israel Ranke adalah seorang pengacara, sementara apabila ditelusuri lebih jauh, nenek moyang Ranke dikenal sebagai pejabat yang berada di kementrian agama. Leopold mengawali studinya di Dondorf, lalu ia melanjutkan ke sebuah sekolah swasta yang cukup terkenal di Pforta (Gymnasium of Schulpforta). Pada tahun 1814 ia melanjutkan studinya di Universitas Leipzig, dengan fokus pada ilmu sejarah dan teologi Lutheran. Sebagai mahasiswa ia sangat menggemari tulisan-tulisan Tuchydides, Livy, Dionysus, Goethe, dan Kant. Ia juga menunjukkan minatnya pada sejarah modern dimana sebenarnya itu lebih karena ketidakpuasannya akan buku sejarah yang hanya memberikan sumber mentah tanpa ada kajian lebih mendalam terhadap sumber tersebut.

Bapak Sejarah Modern
Kebenciannya terhadap buku teks membuatnya terobsesi untuk segera lulus dan mengembangkan ilmu sejarah modern. Ia segera menamatkan studinya dan mengajar sejarah di Friedrich Gymnasium di Frankfurt. Pada masa inilah ia benar-benar menghabiskan waktunya untuk berkutat dengan pengembangan ilmu sejarah modern yang lebih profesional sekalian mencari makna akan ketuhanan melalui bidang sejarah. Usaha pertamanya ini menghasilkan sebuah buku yang sangat fenomenal, yaitu Geschite der Romanischen und Germanischen Volker von 1494 bis 1514 (History of The Latin and Teutonic Nations from 1494 to 1514) yang terbit pada tahun 1824. Di buku ini ia menuliskan mengenai persatuan enam bangsa dibawah Kerajaan Crolingia melalui tiga periode besar Eropa, yaitu masa migrasi besar-besaran, masa perang salib, dan masa kolonisasi.

Dengan kemampuan sejarah dan filologi-nya, Ranke memperkenalkan sebuah metode kritik sumber dalam penulisan buku sejarah pertamanya. Dalam penulisannya ia mengklaim bahwa ia tidak hanya memasukkan fakta mentah, tetapi juga tulisan-tulisan yang bersifat pribadi seperti catatan harian hingga dokumen resmi pemerintah ia masukkan ke dalam bukunya. Metode kritik sumber ia terapkan sehingga mahakarya Geschite der Romanischen und Germanischen Volker von 1494 bis 1514 dapat lahir dari tangannya.Buku pertamanya ini langsung membuka akses untuk mengembangkan studinya lebih lanjut. Menteri Pendidikan Kerajaan Prussia saat itu, Karl Albert Kamptz, memberikan sebuah jabatan di Universitas Berlin. Jabatan ini memberinya keleluasaan dalam pengembangan studi sejarah klasik dan metode penulisan sejarah modern yang dipakainya. Tetapi, di Universitas Berlin, Ranke terlibat perselisihan intelektual antara pendukung Savigny dan pendukung Hegel. Sebuah pertentangan intelektual mengenai perspektif sejarah, dimana Savigny menekankan bahwa sejarah terbagi menjadi beberapa jenis pengalaman individu (beberapa jenis periode), sementara Hegel menganggap bahwa sejarah adalah kisah yang universal (satu jenis periode). Dalam hal ini Ranke mendukung ide Savigny dan mengkritisi para Hegelian (pengikut Hegel).

Selain itu, pekerjaannya sebagai editor dalam jurnal Historisch-Politische Zeitschrift membawanya lebih dalam untuk menuangkan pemikiran-pemikiran dan gagasannya dalam pengembangan penulisan sejarah modern. Ranke adalah seorang konservatif, sehingga ia menyerang pemikiran kaum liberalis melalui jurnal-jurnal tersebut. Hal yang paling ia tekankan adalah tidak perlunya sebuah revolusi terjadi di Prussia, karena Prussia bukan Perancis. Ia mengemukakan bahwa Tuhan telah menciptakan karakter khusus bagi sebuah negara beserta masyarakatnya, dan rakyat harus berusaha sekuat tenaga untuk mentradisikan karakter khas negaranya. Dalam hal ini ia sepakat dengan Hegel mengenai sebuah negara haruslah memiliki ideologi sendiri dan tidak tunduk terhadap pemikiran (ideologi) eksternal. Negara haruslah membentengi diri dari pengaruh-pengaruh luar.

Tahun 1834 ia melahirkan sebuah karya yang berjudul Die römischen Päpste, ihre kirche und ihr Staat im sechzehnten und siebzehnten Jahrhundert (History of the Popes, their Church and State). Ia tidak memakai sumber arsip-arsip di Vatikan (karena sebagai seorang Protestan ia dilarang menggunakan arsip-arsip tersebut), melainkan dengan surat menyurat dan tulisan-tulisan pribadi mengenai Vatikan. Ia menggunakan kembali metode kritik sumber dan mampu dengan baik menjelaskan sejarah kepausan tersebut. Pihak Gereja Vatikan menganggap bukunya tersebut sebagai buku yang anti-katolik, sementara orang-orang Protestan menganggapnya terlalu netral. Tetapi buku ini mendapat apresiasi positif dari berbagai kalangan. Sejarawan dunia langsung mengakui kecanggihan metode Ranke dan ia mendapat banyak pujian karenanya. Seorang ahli sejarah abad ke-16 dari Inggris, Lord Acton, memberikan apresiasi dimana karya Ranke adalah karya yang paling seimbang dalam penulisan sejarah gereja abad ke-16.

Kenetralan dan usaha-usaha untuk menyerang kaum reformis, liberalis, dan demokratis ia tuangkan kembali dalam bukunya yang berjudul Deutsche Geschichte im Zeitalter der Reformation (History of the Reformation in Germany). Disini ia menjelaskan bahwa reformasi Jerman adalah akibat dari pertentangan antar kelompok politik dan agama.

Lalu pada tahun 1841 ia diangkat sebagai historiografer istana, dimana ia mendedikasikannya dengan sebuah buku mengenai sejarah Prussia yang berjudul Neun Bücher Preussischer Geschichte (Memoirs of the House of Brandenburg and History of Prussia, During the Seventeenth and Eighteenth Centuries). Buku yang ditulisnya dalam periode 1847 hingga 1848 ini menyeretnya dalam sebuah masalah, dimana ia digugat oleh para sejarawan kerajaan ke pengadilan. Dalam buku ini ia ditekan oleh kaum nasionalis-Prussia karena menulis mengenai Kerajaan Prussia hanya sebagai sebuah negara-provinsial biasa dalam Kekaisaran Jerman, bukan sebagai kerajaan penting dalam Kekaisaran.

Tahun 1865 nama Leopold Ranke dibersihkan dan dibebaskan dari segala tuntutan. Ia sebelumnya juga sempat memberikan kuliah kepada pangeran Maximilian, dimana ia menjelaskan hubungan kenetralan sejarah dengan pencarian makna Tuhan. Pada tahun tersebut ia juga memperoleh gelar kebangsawanan dari kerajaan berupa penyematan nama “von” di dalam namanya. Lalu pada tahun 1884 ia menjadi anggota kehormatan American Historical Association.

Leopold von Ranke pensiun sebagai pengajar pada tahun 1871, tetapi pada masa tuanya ia masih tetap saja menulis dan berkarya. Banyak buku yang ia hasilkan setelah pensiun, dimana buku yang cukup fenomenal berjudul Weltgeschichte - Die Römische Republik und ihre Weltherrschaft (World history: the Roman Republic and its world rule) ia terbitkan pada tahun 1886. Buku yang ia tulis sejak tahun 1880 ini mengenai sejarah dunia yang ia mulai dari zaman Mesir Kuno dan Israel, tetapi hingga kematiannya pada tahun 1886 ia hanya sanggup sampai abad ke-12. Akhirnya buku ini dilanjutkan oleh mahasiswanya, Alfred Dove, dengan menggunakan catatan-catatan Ranke sehingga mampu menyentuh tahun 1453 sebagai akhir penulisan sejarah dunia dalam buku tersebut. Meskipun seharusnya ke-universal-an sejarah menuntut Ranke untuk menulis mengenai zaman pra-sejarah, tetapi Ranke meminggirkannya karena ketiadaan bukti dan fakta.

Kritik Sumber
Metode yang digunakan oleh Ranke ialah kritik sumber, hal ini berdasar pada prinsipnya akan wie es eigentlich gewesen (sejarah yang sesungguhnya terjadi). Ia sangat membenci buku-buku teks yang dianggapnya hanya merupakan kisah belaka dan pemaparan fakta tunggal. Sebagai sejarawan, ia sangat berhati-hati dalam pemilihan sumber dan membuang jauh-jauh segala pemikiran subyektifnya. Ia juga memperkenalkan metode seminar sebagai metode pengajaran sejarah yang efektif.

Sejarah tanpa warna yang dihadirkan Ranke menuai berbagai tanggapan. Bagi beberapa sejarawan yang tidak sependapat dengan Ranke mengemukakan bahwa sejarah dapat hidup ketika hanya menghadirkan fakta (data) saja tanpa ada pembandingan sumber dan perspektif, sementara bagi Ranke sejarah adalah sebuah kebenaran yang harus mampu menunjukkan kehadiran peran Tuhan di muka bumi. Oleh karena itu baginya sejarah itu lebih dari sekedar fakta dan data. Sementara bagi generasi sejarawan sesudah Ranke, kebanyakan sejarawan abad XIX menganggap bahwa prinsip Ranke adalah prinsip yang naif dan membosankan dalam menghadirkan sejarah.

Ranke dalam penulisan buku-buku sejarahnya berusaha mencari sumber dari berbagai golongan yang terlibat dalam objek peristiwa sejarah yang ia tulis. Seperti dalam buku Die römischen Päpste in den letzen vier Jahrhunderten (The Roman Popes in the Last Four Centuries), dimana ia dilarang mengambil sumber dari arsip Vatikan lalu ia mengambil dari surat-surat pribadi, jurnal, dan buku-buku yang sebelumnya menuliskan mengenai Vatikan. Lalu sumber-sumber tadi ia benturkan dengan sumber-sumber lain dari golongan Protestan. Sehingga buku ini mendapat apreisasi yang positif dari berbagai kalangan akan kenetralannya.

Kenetralan atau ketidak-berpihakan sejarawan menjadi alasan sebuah penulisan akan sebuah peristiwa sejarah itu dianggap “benar”. Prinsip netralitas yang dianut Ranke ini menjadi semangat para sejarawan untuk mengungkap sebuah kebenaran peristiwa. Sehingga prinsip sejarah sebagai “pengadilan masa lalu dan dipelajari di masa kini untuk kepentingan di masa depan” dapat berjalan dengan baik.

Troy

0 komentar

Troy adalah sebuah film ysng menceritakan tentang perang Troya. Raja agamemnon adalah raja dari Yunani yang haus akan kekuasaan, pengaruh serta perluasan wilayah. Raja agamemnon yang mempunyai tentara perang yang tangguh melakukan expansi pertamanya. Expansi itu melawan tentara dari Triopas.

Dalam perang itu, kedua belah pihak setuju melakukan perang dengan cara tradisional. Yunani diwakili oleh Archilles, seorang prajurit perang yang tangguh dan tidak tunduk kepada rajanya. Perlawanan itu akhirnya dimenangkan oleh Arhilles dengan mudah, dalam sekejap dia membunuh tentara dari Triopas yang diwakili oleh Boagrius. Triopas kalah dan memberikan tongkat kerajaan kepada Archilles tetapi Archilles menolaknya.

Setelah itu di Sparta diadakan perundingan untuk mengakhiri perang antara Troy dengan Sparta. Troy diwakili oleh Hector dan Paris. Namun dalam perjalanan pulang Paris menyulundupkan Helen, istri Menelaus. Melihat hal ini, Raja Agamemnon yang memang ingin menaklukkan Troy menjadikan hilangnya Helen sebagai alasan untuk menaklukkan Troy. Dia mengajak Archilles untuk berjuang demi Yunani. Odysseus datang untuk meyakinkan Archilles dan menemukan Archilles sedang berlatih perang bersama Patroclus.

Archilles sebelum pergi ke perang, dia lebih dahulu menemui ibunya. Archilles memberi tahu bahwa dia akan menemukan kedamaian dan menemukan kemuliaan tetapi tidak akan pernah kembali. Pada hari pertama perang, Yunani berhasil mengambil kontrol wilayah dekat pantai Troy. Di dalam kuil Archilles bertemu dengan Hector tetapi tidak terjadi adu kekuatan, bahkan Hector disuruh pulang. Archilles hanya mengambil Briseis sebagai hadiah.

Pada hari berikutnya Archilles tidak mengikuti perang tetapi mengamati dari kejauhan. Paris menerima tawaran dari Menelaus untuk berduel satu lawan satu. Paris hampir mati di tangan Menelaus, tetapi Hector campur tangan dan membunuh Menelaus. Melihat hal itu, Agamemnon terkejut dan melakukan perlawanan terhadap Troy. Melihat keadaan yang tidak berpihak kepada Yuanani, seluruh pasukan Yunani ditarik mundur dan kembali ke kamp. Pada malam hari menjelang fajar, Troy melakukan serangan mendadak ke kamp Yunani. Tentara Yunani terlihat kalang kabut, namun akhirnya muncul Patroclus yang menyamar menjadi Archilles. Patroclus akhirnya mati di tangan Hector. Archilles yang mendengar tentang berita kematian Patroclus sangat terpukul dan marah.

Pada hari berikutnya, Archilles pergi ke Troy sendirian dan menantang Hector untuk berduel satu lawan satu. Hector akhirnya mati di tangan Archilles dan membawa mayat Hector ke kamp Yunani dengan diseret oleh kereta kuda.

Pada malam harinya, Raja Priam dari Troy datang ke kamp Yunani dan menemui Archilles untuk mengambil mayat Hector. Archilles memberikan mayat Hector kepada Raja Priam dan mengijinkan Briseils untuk pulang. Archilles juga mengatakan bahwa tidak akan menyerang Troy selama 12 hari.

Yunani menggunakan patung tiruan kuda raksasa untuk memasuki kota Troy. Yunani meninggalkan kamp dan bersembunyi di balik karang pulau. Tiruan kuda raksasa itu ditinggalkan di kamp. Raja Priam datang mengunjungi kamp Yunani tetapi hanya menemukan tiruan kuda. Paris mengingatkan akan bahaya dari patung kuda itu. Namun, raja Priam berkata bahwa kuda itu sebagai simbol perdamaian dari Yunani. Tentara Troy membawa patung kuda itu ke kota Troy. Pada malam harinya, tentara Yunani yang tadinya bersembunyi di dalam patung kuda keluar dan mulai mengobrak-abrik kota Troy. Tentara Yunani mulai menguasai kota Troy. Raja Priam dibunuh oleh Agamemnon, namun Agamemnon sendiri juga mati di tangan Briseis.

Paris menemukan Archilles sedang bersama Briseis dan tanpa ampun Paris memanah tubuh Archilles hinnga akhirnya mati. Pada akhir film ini, Odyseus menyampaikan sebuah kalimat yang berbunyi “ biarkan mereka berkata saya berjalan dengan raksasa, biarlah mereka berkata saya tinggal di waktu Hector, biarkan mereka berkata saya hidup di zaman Archilles”.

20 May 2009

Ketika Reformasi Bukan Merupakan Solusi

0 komentar
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu berusaha merubah nasibnya sendiri” (QS. Ar-Ra’d : 11)

Mei ini, sudah sepuluh tahun reformasi bergulir. Perubahan demi perubahan sudah terjadi sejak era kejatuhan Soeharto hingga masa empat tahun kepemimpinan SBY sekarang. Sepuluh tahun, semestinya rakyat sudah mulai menikmati hasil dari perubahan yang dituntut oleh ribuan mahasiswa angkatan ‘98 yang menginginkan reformasi di segala bidang. Tetapi realitas yang ada saat ini adalah pemerintah yang tidak mampu mengurusi rakyatnya. Hingga saat ini pemerintah belum mampu menuntaskan kasus korupsi yang melibatkan elite pejabat tinggi. Pemerintah juga tidak mampu mengendalikan kenaikan harga bahan pokok yang semakin membumbung tinggi. Satu pertanyaan, mengapa setelah 10 tahun reformasi kesejahteraan rakyat tidak semakin meningkat?

Satu jawaban ditemukan, yaitu belum berpihaknya kebijakan-kebijakan pemerintah kepada rakyat kecil. Kebijakan-kebijakan pemerintah saat ini semakin menguntungkan para pengusaha-pengusaha besar. Privatisasi terjadi di segala bidang, bahkan kapitalisme pendidikan pun menjadi hal yang ditargetkan oleh pemerintah. Rakyat pun semakin lama semakin terinjak-injak harkat dan martabatnya.

Dalam sebuah diskusi dengan seorang dosen, beliau mengatakan bahwa negeri ini sedang mengalami krisis kepemimpinan, dimana tidak adanya seorang leader yang mampu mengurusi rakyat. Dahulu ketika angkatan ’66 menjatuhkan pemerintahan Orde Lama, seorang pemimpin bernama Soeharto sudah dipersiapkan untuk menggantikan Soekarno. Sementara itu angkatan ’98, membuat sebuah kesalahan fatal dengan tidak mempersiapkannya seorang calon pemimpin yang mampu menggantikan Soeharto. Habibie maju sebagai presiden, tapi laporan pertanggungjawabannya ditolak. Lalu Gus Dur menggantikannya, malah dijatuhkan lagi. Setelah itu Megawati maju, tetapi tidak dipilih lagi. Dan akhirnya melalui sebuah pesta demokrasi SBY naik sebagai presiden, tapi pemerintahannya terus disorot negatif.

Reformasi terjadi karena pemerintahan Orde Baru Soeharto disorot dengan image tiran dan diktator. Demokrasi memang menjadi dasar pemerintahan ini, tapi demokrasi Orde Baru adalah demokrasi yang dimanipulasi. Oposisi saat itu haram hukumnya ada di Indonesia, semua yang berani mengkritisi dan melawan pasti dibungkam. Suasana kebebasan benar-benar tidak dirasakan oleh masyarakat. Hingga akhirnya terjadilah krisis finansial Asia yang membuat rupiah anjlok dan harga-harga membumbung tinggi. Menjelang akhir masa jabatannya yang keenam kali, Soeharto membacakan pidato pertanggungjawabannya di gedung DPR/MPR. Tetapi pidato pertanggungjawaban itu ditolak oleh puluhan mahasiswa UI yang berdemonstrasi di depan gedung DPR/MPR.

Tetapi Soeharto akhirnya terpilih kembali sebagai presiden untuk ketujuh kalinya dengan menggandeng B.J. Habibie sebagai wakil presiden. Dalam kabinet yang dinamai “Kabinet Pembangunan VII” itu, Bob Hasan dan Siti Hardiyanti Rukmana juga terpilih menjadi menteri. Mahasiswa pun semakin gencar berdemonstrasi menuntut adanya reformasi, tetapi Soeharto menyatakan bahwa reformasi itu sendiri baru mungkin terjadi pada tahun 2003. Demonstrasi mahasiswa pun semakin besar, di beberapa kota bahkan sempat terjadi bentrokan antara mahasiswa dengan aparat. Soeharto pun meralat pernyataannya dengan mengatakan bahwa reformasi bisa dimulai saat ini.

Kenaikan harga BBM mencapai 71% membuat mahasiswa mengamuk. Demonstrasi pun kembali marak di beberapa kota, bahkan berujung pada kerusuhan. Di Medan setidaknya dilaporkan 6 orang meninggal akibat kerusuhan antara mahasiswa dan masyarakat melawan aparat keamanan. Sementara itu di Cimanggis terjadi sebuah perang antara aparat keamanan dengan mahasiswa Universitas Jayabaya yang mengakibatkan 52 orang mahasiswa terluka parah. Lalu di Yogyakarta, massa dari Universitas Sanata Dharma yang ingin bergerak menuju Bunderan UGM dan bergabung dengan massa dari Universitas Gadjah Mada dihalang-halangi oleh aparat sehingga menyebabkan kerusuhan yang terjadi di sekitar Jl. Gejayan dan mengakibatkan satu orang mahasiswa yang bernama Moses Gatutkaca meninggal dunia.

Seolah tak peduli dengan keadaan dalam negeri, Soeharto pun pergi ke Mesir dalam rangka menghadiri KTT G-15. Esoknya pun Tragedi Trisakti terjadi, dimana 4 Mahasiswa terbunuh. Peristiwa ini menjadi awal mula dari kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Tuntutan mundur kepada presiden Soeharto menggema di seluruh Indonesia. Sementara itu di Yogyakarta 500.000 orang berdemonstrasi dibawah pimpinan Sultan Hamengkubuwono X. Dan akhirnya perjuangan mahasiswa bersama rakyat memberi hasil dengan mundurnya presiden Soeharto dari jabatan Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998 pasca mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR.

Lalu, bagaimana keadaan Indonesia pasca reformasi? Indonesia berubah menjadi lebih demokratis, dimana semua orang berhak berteriak-teriak menyuarakan aspirasinya. Kebebasan dan liberalisme seolah menjadi dasar dari segala pemikiran masyarakat Indonesia. Begitu juga dengan pemerintah yang masih saja meneruskan demokrasi-liberal era Soeharto. Bahkan kini bukan hanya demokrasi-liberal yang menjadi dasar pemikiran pemerintah, tetapi demokrasi-kapitalis juga menguasai otak para elite pejabat. Dan pada akhirnya yang berkuasa bukanlah rakyat, melainkan para pemilik modal yang dengan rakusnya mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia melaui undang-undang yang mereka buat.

Pembangunan yang tidak berkesinambungan menjadi salah satu penyebab lambatnya peningkatan kesejahteraan rakyat pasca reformasi. Sering terjadinya pergantian kabinet menyebabkan sering berubahnya kebijakan-kebijakan pemerintah. Bahkan efek demokrasi memberikan kesempatan bagi seseorang untuk menjatuhkan penguasa dengan mudah dan menggantinya dengan penguasa yang baru dan tentunya dengan kebijakan yang baru pula. Pemberantasan korupsi dengan sistem ’tebang pilih’ juga bisa disebut sebagai penyalahgunaan amanah dalam melaksanakan agenda reformasi. Rata-rata koruptor yang ditangkap adalah mereka yang tidak memiliki posisi politis yang kuat. Sementara itu para elite pejabat yang korup masih berkeliaran bebas, bahkan ikut serta dalam membuat kebijakan pemerintah. Dari golongan militer, arogansi mereka juga masih belum hilang. Yang hilang saat ini baru sebatas ’dwifungsi ABRI’, tetapi sayangnya profesionalitas dan sikap merakyat masih belum bisa ditemukan dari golongan ini.

Nah, lalu buat apa reformasi apabila keadaan rakyat tidak berubah? Apa gunanya reformasi apabila rakyat masih menderita? Apakah dengan berubahnya suasana dari otoriter ke demokratis rakyat bisa kenyang? Apakah dengan gonta-ganti presiden dan kabinet rakyat hidup senang? Fakta menunjukkan bahwa saat ini rakyat lebih melarat daripada saat Orde Baru, walaupun saya tak menampik bahwa saat ini rakyat lebih bebas daripada saat Soeharto berkuasa. Tetapi demokrasi-kapitalisme yang diusung oleh pemerintah sekarang tidak mungkin mampu mensejahterakan rakyat Indonesia.

Bangsa ini butuh revolusi, bukan reformasi. Bangsa ini lebih membutuhkan perubahan daripada hanya sekedar ’penggantian’. Reformasi bukanlah revolusi. Reformasi hanya mengagendakan sebuah perubahan kecil guna menyesuaikan dengan apa yang terjadi di sekitar. Sementara revolusi menuntut semua perubahan dari hal yang paling kecil sampai yang terbesar. Lagipula dengan bertahannya para pewaris Orde Baru dalam jajaran pemerintahan hanya membuat pemerintah seperti para penari Orde Baru yang bertopeng ’Reformasi’. Satjipto Rahardjo, sosiolog hukum dan guru besar dari Universitas Diponegoro Semarang dalam sebuah makalahnya mengatakan ”Sebuah rezim tidak sama sekali diambrukkan karena masih dibiarkannya ‘orang lama’ ikut berperan dalam wilayah dan jabatan politik”

”ketika rakyat semakin tertindas dan tertekan, maka itulah awal mula revolusi”