Berita yang mampir beberapa hari yang lalu cukup mengejutkan, yakni tentang pertemuan antara para pejabat rektorat UGM dengan para perangkat desa Kecamatan Depok. Bukan pada pertemuan-nya yang mengejutkan, tetapi pada statement-statement yang terlontar dalam pertemuan tersebut. Mengenai permasalahan ini, maka sebelumnya penulis mencoba flashback ke belakang. Pada saat awal penerapan sistem portal kampus, banyak penduduk yang mengeluhkan mengenai arogansi dan eksklusifitas UGM. Adanya portal-portal yang menutup area kampus menunjukkan sikap “tidak bersahabat” UGM terhadap warga di sekitarnya. Selanjutnya, pasca pemasangan dan penerapan sistem portal di kampus, lahirlah kebijakan KIK yang dilandasi pada Peraturan Rektor UGM nomor 408/P/SK/H/T/2010. Kebijakan ini mulai berlaku efektif pada masyarakat umum per tanggal 1 Februari 2011, dengan penerapan disinsentif sebesar Rp.1000,- untuk motor dan Rp.2000,- untuk mobil.
Dalam sebuah pertemuan warga bersama Korps Mahasiswa Pemerintahan, Gerakan Tolak Komersialisasi Kampus UGM, dan Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta di Pendopo Dusun Karangmalang pada 1 April 2011 lalu, Sudarman selaku kepala dukuh Karangmalang berucap, “dulu saya masih punya rasa bangga terhadap UGM, tetapi sekarang kebanggaan saya sudah hilang”. Beliau menyatakan bahwasanya UGM sudah bersikap arogan karena tidak menanyakan pendapat warga sekitar terlebih dahulu dalam kebijakan-kebijakannya. “kebijakan ini jelas menunjukkan bahwa UGM hanya memikirkan diri sendiri dan melupakan masyarakat di sekitarnya”, lanjut Sudarman ketika menanggapi permasalahan seputar KIK. Upaya beliau untuk menemui pejabat rektorat UGM terkait masalah-masalah yang ditimbulkan pasca penerapan kebijakan-kebijakan baru selalu gagal.
Setelah protes tersebut dimuat oleh lembaga pers mahasiswa, barulah rektorat UGM merespon dengan menyelenggarakan pertemuan yang lebih besar antara pejabat-pejabat rektorat UGM dengan perangkat kecamatan Sinduadi dan Caturtunggal. Pertemuan ini juga dihadiri oleh tokoh masyarakat dari Dusun Barek, Kocoran, Blimbingsari, Karangmalang, dan Karanggayam. Dalam pertemuan ini UGM meminta agar masyarakat sekitar kampus menyediakan lahan parkir bagi mahasiswanya yang membawa kendaraan bermotor, sehingga dapat mengurangi volume kendaraan yang masuk ke area kampus. Selain itu, rektor UGM juga menyatakan tentang pentingnya saran dan gagasan dari masyarakat yang selama ini telah hidup berdampingan dengan UGM. Apa yang diucapkan oleh rektor UGM tentu kontras dengan apa yang disampaikan oleh kepala dukuh Karanggayam tadi. Rektor UGM dengan jelas memohon saran, ide, dan gagasan masyarakat, sementara kepala dukuh Karanggayam sudah berkali-kali berupaya untuk menemui pejabat kampus UGM untuk berkeluh-kesah, tapi selalu gagal. Dari sini penulis teringat akan surat “pentingnya kejujuran” yang lalu, dan bertanya-tanya siapa yang seharusnya jujur kali ini.
Mengenai permasalahan parkir, tentu UGM harus berpikir dari perspektif masyarakat dalam menyelenggarakan “parkir” sebelum mengeluarkan “permintaan” diatas. Dalam menyediakan lahan parkir bagi mahasiswa, tentu ada konsekuensi-konsekuensi yang harus diambil oleh penyelenggara parkiran. Selain persoalan lahan, maka ada persoalan ijin, biaya, dan jaminan keamanan. Dari sini saya teringat akan kerjasama UGM dengan masyarakat sekitar dalam penyelenggaraan asrama mahasiswa sekitar tahun 1950-an. Ketika UGM menghadapi persoalan akan banyaknya mahasiswa pendatang dari luar Yogyakarta, UGM memecahkan persoalan tersebut dengan membangun asrama. Asrama Tipe-A merupakan asrama yang dibangun dan dikelola oleh UGM sendiri, sementara Tipe-B dan Tipe-C merupakan kerjasama UGM dengan masyarakat sekitar. Dalam kerjasama penyelenggaraan asrama dengan masyarakat, UGM memberi bantuan berupa furniture dan perabotan lengkap untuk menunjang kegiatan belajar mahasiswa di asrama tersebut. Tidak hanya itu, UGM juga membiayai langganan koran dan majalah. Bahkan untuk asrama Tipe-B, UGM memberikan subsidi bagi pemilik rumah untuk mengganti biaya kamar, air, dan listrik.
Melihat kerjasama UGM dalam hal penyelenggaraan asrama di masa lalu tentu sangat berbeda dengan kebijakan “meminta” masyarakat menyediakan lahan parkir per Agustus 2011. Tidak adanya sistem dan mekanisme yang jelas dari UGM terkait permintaan lahan parkir tadi tentunya semakin membuat keadaan masyarakat di sekitar kampus semakin tidak teratur. Belum lagi apabila UGM tidak memberikan solusi cerdas bagi masyarakat dalam permasalahan-permasalahan menata “kawasan parkir baru”. Sehingga menjadi sebuah ironi ketika UGM berhasil mewujudkan sebuah kawasan educopolis yang asri, tetapi keadaan masyarakat di sekitar kampus UGM penuh dengan polusi udara dan suara.
Hidup mahasiswa!!
Hidup rakyat Indonesia!!
dan Tolak komersialisasi kampus Gadjah Mada!!