Raden Ngabehi Ranggawarsita berasal dari keluarga pujangga keraton Kartasura, yakni keluarga Yasadipura. Beliau adalah cucu dari Raden Tumenggung Sastranegara yang dikenal sebagai Raden Ngabehi Yasadipura II, anak dari Bagus Banjar atau biasa dikenal sebagai Raden Ngabehi Yasadipura I. Keluarga Yasadipura selama tiga generasi memang dikenal sebagai pujangga-pujangga ternama dalam sejarah Kasunanan Surakarta. Raden Ngabehi Yasadipura I dikenal sebagai pujangga besar ketika era Pakubuwono III dan Pakubuwono IV. Serat terkenal hasil karangan beliau yang paling terkenal adalah Serat Cebolek.
Sementara Raden Ngabehi Yasadipura II adalah anak dari Raden Ngabehi Yasadipura I. Beliau dikenal sebagai salah satu penulis dalam 12 jilid Serat Centhini yang sangat fenomenal di kalangan sastrawan internasional hingga saat ini. Beliau tercatat sebagai pujangga Kasunanan Surakarta yang kedua. Dan beliau pula yang menemukan bakat sang cucu hingga kelak Raden Ngabehi Ranggawarsita menjadi pujangga besar yang dijuluki “Nostradamus van Java”.
Raden Ngebehi Ranggawarsita terlahir dengan nama Bagus Burham pada 1802 M. Pada 1813 M beliau berguru pada Kyai Gebang Besari di Pesantren Gebang Tinatar, Ponorogo. Kebengalan Bagus Burham saat itu membuat perkembangan pendidikannya berjalan lambat, bahkan berjudi menjadi kebiasaan barunya disana. Akibat kelakuan buruknya ini Kyai Gabang Besari mengusir Bagus Burham, sehingga Ki Tanudjaja selaku pamong beliau mengajaknya ke Kediri untuk menghadap Bupati Kediri, Pangeran Adipati Cakraningrat. Sebelum ke Kediri, keduanya mampir dulu di Mara untuk menginap di rumah sepupunya, Ki Ngasan Ngali.
Oleh Ki Ngasan Ngali keduanya disarankan untuk menunggu di Madiun, karena Pangeran Adipati Cakraningrat akan menuju ke Surakarta untuk menghadap ke Keraton Surakarta. Seusai bertemu dengan Pangeran Adipati Cakraningrat, beliau memohon izin untuk berguru hingga ke Bali. Tetapi, sebelum ke Bali beliau berguru dahulu pada Kyai Tunggulwulung di Ngadiluwih, Kyai Ajar Wirakanta di Ragajambi, dan Kyai Ajar Sidalaku di Tabanan, Bali. Sekembalinya dari Bali beliau berhasil memperoleh ilmu-ilmu baru, catatan-catatan perjalanan, hingga peninggalan-peninggalan dari Pulau Bali.
Setelah Raden Tumenggung Sastranegara wafat pada tahun 1844 M, Raden Ngabehi Ranggawarsita diangkat sebagai pujangga Keraton Surakarta Hadiningrat. Pada masa ini beliau banyak menghasilkan karya-karya masterpiece seperti Serat Kalatidha dan Jangka Jayabaya. Karya-karya beliau lebih banyak berbau Islam-Kejawen yang merupakan ciri khas karya sastra keluarga Yasadipura. Hal ini dapat dilihat dari serat Cebolek, serat Centhini, hingga serat Jayengbaya. Selain bernafas Islam-Kejawen, hal lain yang menjadi objek karya beliau adalah pandangan akan masa depan dan kritik sosial di dalamnya. Dalam embuat sebuah karya sastra, beliau sering ditemani oleh C.F. Winter Sr., seorang indo-belanda yang juga pakar sastra Jawa. Hingga saat ini Serat Kalatidha dan Jangka Jayabaya menjadi rujukan para peramal-peramal negeri ini dalam merumuskan kondisi bangsa di masa depan. Bahkan filosofi beliau akan tujuh “satrio piningit” dijadikan harapan sebuah partai politik guna melegitimasi kesuksesan dalam Pilpres tahun 2009.
Ranggawarsita meninggal pada tahun 1873 M. Beliau dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. Dua Presiden RI yang dimitoskan memiliki hawa gaib yang cukup kuat pernah mengunjungi makam beliau, mereka adalah Ir. Soekarno dan Abdurrahman Wahid. Karya-karya sastra yang pernah diciptakan oleh Ranggawarsita antara lain antara Serat Jaka Lodang, Serat Jayengbaya, Serat Kalatidha, Serat Panitisastra, Serat Paramasastra, Serat Paramayoga, Serat Pustaka Raja, Suluk Saloka Jiwa, dan Wirid Ma'lumat Jati.
No comments:
Post a Comment