Kaget, itulah yang aku rasakan ketika diberitahu akan iklim politik FIB. Semua kebobrokan FIB yang sudah lama aq sadari semakin jelas ketika mendengar akan hal lain tentang FIB. Apalagi tentang ke-tidak-demokratis-an yang terjadi di FIB maupun UGM, rasanya suasana feodal sangat terasa. Cih, foedalisme ternyata ga hanya di lingkungan Keraton Jogja aja, bahkan masuk ke area kampus UGM.
FIB saat ini dikuasai oleh anak belakang. Sekumpulan mahasiswa hedonis yang hanya berpikir akan party, mabuk, dugem, pesta, musik, dsb. Dan mahasiswa yang ada didalam FIB pun terdidik menjadi mahasiswa yang hedonis dan apatis. Sungguh sangat disayangkan ketika mahasiswa yang menjadi "agent of change" malah terdidik untuk bersikap pasif dan apatis, bahkan hedonis. Entah apakah ada dari FIB nanti yang kelak akan melakukan suatu hal yang revolusioner dalam memperjuangkan nasib rakyat Indonesia.
Sungguh sedih aq ketika melihat realita yang ada di FIB. Kampus yang aq harap bisa jadi tempat untuk merevolusionerkan pemikiranQ, tempat untuk menimba ilmu sekaligus berorganisasi, tempat yang aq harapkan bisa membentukQ menjadi seorang aktivis pergerakan mahasiswa, semua impian itu sirna ketika mengetahui FIB dikuasai oleh kehidupan mahasiswa yang hedonis, apatis, dan pasif.
Tidak bisa dipungkiri bahwa di FIB terdapat berbagai kelompok mahasiswa. Dari kelompok belakang macam SasBud, kelompok rohis macam KMIB, kelompok HMJ, kelompok mahasiswa hedonis, pasif, dan apatis, kelompok mahasiswa perpus-kos, bahkan sampai kelompok mahasiswa pengecut yang lari ke tempat lain tanpa peduli dengan nasib FIB. Walaupun ada banyak kelompok di FIB, tapi bukan berarti persatuan tidak bisa tercipta. Persatuan pasti bisa, asal ada pihak yang rela menahan nafsu hewannya dan rela berbaur dengan golongan yang "tidak sejenis".
Itulah menurutQ fungsi LEM (Lembaga Eksekutif Mahasiswa). LEM harus mampu menjadi leader dan koordinator atas semua HMJ maupun BSO yang ada di FIB. Walau secara kedudukan antara LEM, HMJ, dan BSO itu setara, setidaknya LEM harus mampu mengkoordinasikan semuanya. LEM juga harus mampu menyatukan semua unsur golongan mahasiswa yang ada di FIB. Dan apabila LEM belum mampu melakukan hal tersebut, tidak ada salahnya LEM dibubarkan.
Saat ini LEM tidak ubahnya SasBud, hal ini karena para aktivis LEM yang tersisa kebanyakan dari SasBud. Sementara yang lain mengundurkan diri dengan berbagai alasan. Suatu hal yang sungguh ironis ketika suatu lembaga independen yang seharusnya bertugas menyatukan antar golongan mahasiswa, tapi malah dikuasai oleh satu golongan mahasiswa. Hal ini makin berakibat berkuasanya satu golongan dan membuat golongan yang berkuasa itu menjadi ekslusif pula. Padahal kelompok yang potensial menjadi lawan penguasa FIB saat ini pun tak kalah eksklusifnya. Maka tak heran mahasiswa pun menjadi pasif dan apatis.
Mahasiswa FIB bingung. Ketika golongan yang berkuasa itu menunjukkan kediktatoran mereka dalam berkuasa, kelompok yang seharusnya menjadi oposisi pun tidak dekat dengan mahasiswa. Akibatnya mahasiswa pun bersikap pasif, tidak peduli akan apa yang terjadi di FIB. Dan hal ini berakibat makin kuatnya kelompok yang berkuasa. Sementara itu yang menyadari akan kebobrokan di FIB hanya sedikit, dan mereka yang sedikit itu pun kebanyakan melarikan diri ke luar FIB. Jadi semakin sedikit saja mereka yang berusaha menjadi oposisi yang bertahan di FIB. Dan mereka yang bertahan ini sudah pasti dengan mudah digilas oleh kelompok penguasa.
Kacau...., sungguh kacau...
Perubahan harus dilakukan, ya perubahan mesti terjadi. Revolusi mesti terjadi di FIB. FIB harus bisa meninggalkan kesan buruk dunia luar. FIB bukan sarang preman, melainkan sarang para aktivis yang memperjuangkan nasib rakyat. FIB bukan tempat party, tapi tempat menimba ilmu para intelektual muda. Warga FIB bukan mahasiswa yang pasif, tapi mahasiswa yang aktif. Warga FIB bukan orang yang apatis, tapi orang yang peduli akan nasib sesama. Karena FIB harus mengembalikan harkat dan martabatnya seperti semula, yaitu fakultas yang paling aktif dalam memperjuangkan nasib rakyat. Mahasiswa Sastra adalah mahasiswa yang dahulu dikenal sebagai mahasiswa yang kritis dan humanis. Itulah mengapa kiranya jalan yang ditempati oleh FIB berada di area Humaniora dan Nusantara, karena kita (mahasiswa FIB) adalah mahasiswa yang humanis di nusantara.
Sastra bersatu tak bisa dikalahkan...
Sastra bersatu tak bisa dikalahkan...
Sastra bersatu tak bisa dikalahkan...
No comments:
Post a Comment