28 July 2009

Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan - Soe Hok Gie

5 komentar
Judul Buku            : Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan
Penulis                  : Soe Hok Gie
Penerbit                : Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta
Tahun Terbit         : September 1997 (cetakan ke-2)
Tebal                    : 312 Hal.



Buku ini adalah skripsi Soe Hok Gie untuk mendapat gelar sarjana dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta, pada tahun 1969. Judul asli dari buku ini adalah Simpang Kiri dari Sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan PKI Madiun September 1948. Skripsinya ini benar-benar menarik, karena membuat kita seakan-akan membaca sebuah novel sejarah. Tapi penulisnya cukup hati-hati untuk tetap bersikap objektif dalam analisisnya sehingga fakta dalam suatu peristiwa sejarah tetap ditempatkan pada posisi yang terhormat. Buku ini banyak bercerita mengenai awal mula pemberontakan PKI tahun 1948. Banyak hal yang ditulis mengenai latar belakang peristiwa pemberontakan PKI 1948 hingga penumpasannya. Soe Hok Gie menulis mulai dari perpecahan antar-grup dalam PKI 1926, tokoh-tokoh PKI 1948, kejadian-kejadian sebelum Peristiwa Madiun, kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Solo, saat-saat pemberontakan FDR, dan penumpasan FDR/PKI di Madiun. Informasi akan pemberontakan PKI di Madiun yang didapat dari buku ini cukup banyak dan memuaskan pembaca yang ingin mengetahui lebih dalam apa yang terjadi di Madiun pada September 1948.


BAB I : TOKOH DAN PANGGUNG
Pada bab pertama ini Soe Hok Gie menjelaskan akan tokoh dan latar belakang peristiwa pemberontakan PKI di Madiun. Soe Hok Gie menulis bahwa peristiwa PKI Madiun 1948 memiliki kaitan erat dengan pemberontakan PKI pada 1926. Menurut Soe Hok Gie, pada awal abad ke-20 kebanyakan pemuda mengalami krisis pemikiran, sehingga kebanyakan pemuda saat itu menjadi revolusioner dan radikal. Hal ini ia buktikan dengan tokoh Musso, tokoh penting peristiwa pemberontakan PKI Madiun. Musso yang dilahirkan di desa Pagu, Kediri, adalah seorang yang terpelajar. Bahkan ia menjadi murid kesayangan Dr. Hazeu (penasihat Belanda urusan Bumiputera). Pada masa pendidikannya ia bersahabat dengan Alimin, yang kelak juga menjadi pemimpin PKI. Musso juga pernah berguru pada H.O.S. Tjokroaminoto, sehingga ia juga dekat dengan Soekarno.

Tokoh lain adalah Alimin Prawirodirdjo, dilahirkan di Surakarta dalam sebuah keluarga yang miskin. Ia lalu dipungut anak oleh Dr. Hazeu dan diberikan kesempatan bersekolah agar kelak dapat menjadi pegawai pemerintah. Tapi sayangnya dunia jurnalistik dan politik lebih menarik minat Alimin muda. Alimin tergabung dalam Boedi Oetomo dan Central Sarekat Islam. Ia juga berguru pada H.O.S. Tjokroaminoto dan bersahabat dengan Musso, Soekarno, dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo.

Tokoh yang juga tak kalah penting adalah Sardjono. Ia adalah tokoh kecil pada masa awal PKI. Sardjono adalah pemimpin SI di Sukabumi yang kemudian memihak ke PKI. Dalam kongres PKI di Kotagede, Yogyakarta, banyak pemimpin PKI dalam bahaya penangkapan. Darsono yang diminta menjadi ketua menolak karena akan ditangkap. Sementara Ali Archam, salah deorang tokoh terkemuka PKI juga menolak dengan alasan yang sama. Akhirnya pilihan jatuh pada Sardjono yang memimpin PKI sampai ajalnya.

Soe Hok Gie menulis pada masa awal PKI pemerintah Belanda bertindak tegas terhadap aksi-aksi yang dilakukan oleh PKI. Tokoh-tokoh kunci PKI ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda. Hal ini membuat Alimin, Musso, dan Tan Malaka lari ke luar negeri. Dalam situasi ini Sardjono membuat rencana pemberontakan, tapi rencana itu ditolak oleh Tan Malaka selaku wakil Komintern wilayah Asia. Sardjono dan Musso tidak menyerah begitu saja, rencana itu pun mereka ajukan ke Moskow. Tapi sayangnya Moskow juga menolak rencana mereka. Tapi Musso tetap nekad dan memerintahkan Sardjono untuk melakukan pemberontakan. Sayangnya pemberontakan itu gagal, sehingga pemerintah Hindia Belanda semakin bertindak keras dalam menghadapi PKI.

Pada 1935 Musso sempat kembali ke Surabaya dan mengkader beberapa pemuda. Dia juga mendirikan kembali CC PKI yang dia pimpin sendiri. Karena PKI merupakan partai ilegal, PKI menyusupkan kadernya dalam Partai Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia). Para kader PKI yang menjadi anggota Gerindo antara lain Wikana, D.N. Aidit, Sidik Kertapati, dan Sudisman. Mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda pun juga tak lepas dari sasaran PKI. PKI sempat mengkader beberapa tokoh mahasiswa macam Abdulmadjid (ketua Perhimpunan Indonesia setelah Hatta), Setiadjid, Rustam Effendi, Maruto Darusman, Sumitro Djojohadikusumo, dan Mr. Jusuf.

Menurut Soe Hok Gie, seusai kegagalan pemberontakan di tahun 1926, muncul suasana saling menyalahkan dalam pimpinan PKI. Karena tekanan yang kuat, Sardjono selaku ketua umum PKI memberikan pertanggungjawabannya. Dan perpecahan antar pimpinan PKI pun timbul di Digul. Hingga Jepang menyerah telah tumbuh bermacam-macam grup dalam PKI. Grup Alimin dan Musso yang hijrah ke Rusia, grup PKI 35 yang merupakan kader-kader Musso, grup Digul dibawah pimpinan Sardjono, grup mahasiswa di negeri Belanda, dan grup-grup yang tidak tertangkap selama pendudukan Belanda dan Jepang. Mereka mempunyai cara kerja, pengalaman, dan emosi yang berbeda. Semua mengaku tunduk pada Komintern dan berkiblat ke Moskow. Mereka merasa di bahu mereka terletak tugas untuk menyelamatkan kaum yang terhina dan tertindas.

BAB II : DI BAWAH BAYONET JEPANG DAN DESINGAN PELURU SEKUTU
Pada bagian ini Soe Hok Gie menjelaskan tentang usaha-usaha para komunis dalam perjuangannya mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Sebelum Belanda menyerah kepada Jepang, Belanda sempat membentuk kelompok gerakan bawah tanah. Dan Belanda menunjuk Amir Sjarifuddin sebagai pemimpin gerakan bawah tanah tersebut. Amir Sjarifuddin sempat mengajak Soetan Sjahrir dan Hatta untuk bergabung, tapi ditolak oleh dua tokoh besar nasional itu.

Tetapi Amir Sjarifuddin sempat menjadikan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo sebagai sekutunya. Ia bersama Dr. Tjipto membentuk GERAF (Gerakan Rakyat Anti-Fasis). Tapi Jepang dapat mencium pergerakan GERAF dan menangkapai para pemimpin GERAF. Amir sendiri sempat dijatuhi hukuman mati oleh Jepang, tapi atas intervensi Soekarno dan Hatta putusan itu dapat dibatalkan dan diganti dengan hukuman seumur hidup. GERAF sendiri setelah para pemimpinnya ditangkapi tidak bisa berbuat apa-apa lagi, mereka hanya bisa menyebarkan propaganda anti-Jepang layaknya kelompok-kelompok kecil lainnya.

BAB III : PEMERINTAHAN SAYAP KIRI
Bab ini menjelaskan tentang kondisi para marxis pada awal kemerdekaan Indonesia. Disini diterangkan mengenai perkembangan ideologi sosialis-komunis setelah era penjajahan berakhir. Indonesia yang baru saja merdeka membuat para pemimpin pergerakan berusaha mengisinya dengan ideologi yang diemban. Dan ideologi yang dimiliki oleh para pemimpin pergerakan ini kebanyakan memiliki konsepsi ke arah kiri / sosialis-komunis. Indonesia tercatat memiliki tiga tokoh besar dalam perkembangan ideologi marxisme, mereka adalah Soetan Sjahrir, Tan Malaka, dan Amir Sjarifuddin.

Pandangan Sjahrir adalah sosialis-demokratis. Ia menjunjung tinggi demokrasi dalam membentuk masyarakat yang sosialis. Pandangan-pandangannya ia terapkan ketika menjadi perdana menteri. KNIP ia ubah dari sebuah badan penasihat menjadi badan legislatif yang ditambahkan kekuatan-kekuatan demokratis. Ia juga membentuk dewan kerakyatan di tiap daerah. Partai-partai diizinkan berdiri agar dapat menampung aspirasi rakyat. Tapi idenya mendapat tentangan kuat ia menerapkannya dalam bersikap menghadapi Belanda. Karena ia mengulur waktu untuk berdiplomasi dengan Belanda demi penyempurnaan Republik Indonesia.
Bila Sjahrir bersedia berdiplomasi untuk penyempurnaan Republik Indonesia, maka Tan Malaka tidak bersedia untuk berunding. Bagi Tan Malaka kemerdekaan politis tanpa kemerdekaan ekonomi benar-benar tidak ada artinya. Dia tidak setuju dengan perundingan apapun tanpa dasar pengakuan kemerdekaan Indonesia 100%. Dan sebagai jaminan pengakuan pihak lawan adalah penyitaan aset milik asing.

Selain dua tokoh tadi, Soe Hok Gie juga menjelaskan tentang pendirian PKI secara legal. Mr. Jusuf memanfaatkan maklumat pemerintah yang menganjurkan untuk pembentukan partai-partai. Mr. Jusuf menggunakan maklumat tersebut untuk melegalkan adanya PKI. Selain itu Soetan Sjahrir juga memanfaatkan maklumat tersebut untuk mendirikan Partai Rakyat Sosialis (PARAS). Amir Sjarifuddin juga mendirikan Partai Sosialis (PARSI). PARAS dan PARSI akhirnya bergabung dengan nama Partai Sosialis dan Amir Sjarifuddin bertindak sebagai pemimpinnya, hal ini dikarenakan Soetan Sjahrir sudah terlalu sibuk dengan jabatannya sebagai perdana menteri. Tak lama kemudian Partai Buruh Indonesia (PBI) yang berhaluan kiri juga lahir. Ketiga partai ini tergabung dalam kelompok Sayap Kiri yang menganut politik komunis garis-lunak (moskow-oriented communist). Sementara itu Tan Malaka yang berhaluan komunis garis-keras (home-grown communist) membentuk Persatuan Perjuangan yang berfungsi sebagai oposisi dari kelompok Sayap Kiri (PKI, PS, dan PBI).

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, PKI terdapat clash dengan TRI. Hal ini karena perbedaan pendapat antara golongan PKI dan militer. PKI menganggap TRI hanya alat partai/negara. Selain itu PKI memang memiliki rasa tidak suka terhadap para pemimpin-pemimpin TRI macam Nasution dan Soedirman yang dianggapnya fasis. Hal ini karena mereka adalah bekas tentara didikan Belanda dan Jepang. PKI sendiri juga mendapat oposisi dari kelompok Persatuan Perjuangan bentukan Tan Malaka yang merupakan kelompok-kelompok anti-PKI. Persatuan Perjuangan terdiri dari Pesindo, Masjumi, Dewan Pusat Perjuangan Jawa Tengah, Serindo, Partai Sosialis, Markas Besar TRI, TLRI, dan Perwari.

Pemerintahan kiri Indonesia diawali oleh Soetan Sjahrir yang menjabat sebagai perdana menteri pada kabinet pertama Republik Indonesia. Segala pemikirannya ia tuangkan dalam pemerintahannya yang berlangsung dari November 1945 hingga Juni 1947. Tetapi karena Perundingan Linggajati menuai banyak kecaman termasuk dari kawan politiknya, ia akhirnya mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri. Marxisme masih menguasai Indonesia ketika Amir Sjarifuddin menggantikan Soetan Sjahrir sebagai perdana menteri. Dan Amir Sjarifuddin juga jatuh dari jabatannya setelah mengalami kegagalan dalam persetujuan Renville yang berakibat semakin menyempitnya wilayah NKRI. Amir Sjarifuddin pun mengalami hal yang sama seperti Soetan Sjahrir.

BAB IV : SITUASI SOSIAL DI BAWAH
Pada bagian ini dijelaskan bagaimana pandangan masyarakat Indonesia terhadap “revolusi”. Terdapat perbedaan pandangan antar para pemimpin revolusi. Penulis menganggap makna revolusi Sjahrir lebih logis dibanding pemaknaan revolusi oleh pemimpin tertinggi republik. Sjahrir beranggapan bahwa revolusi adalah soal perjuangan yang mengenai kehidupan dan nasib rakyat kita yang berjuta-juta yang tak boleh diperlakukan sebagai diri sendiri, soal menunjukkan jalan pada rakyat adalah semata-mata soal perhitungan dan bukan soal kehendak diri kita sendiri.

Dalam revolusi semua hal harus baru, sehingga nilai-nilai lama ditolak dan diganti dengan nilai-nilai baru. Nilai-nilai baru, yang juga tidak jelas artinya adalah suatu harapan, suatu mimpi indah yang diatasnya dibangun harapan akan terbentuknya masyarakat baru. Revolusi sendiri kala itu menjadi sebuah tren yang menjangkiti pemuda-pemuda Indonesia. Sehingga para pemuda mengalami frustasi-frustasi dalam pencarian nilai baru ini.

Ketika tokoh kiri yang dipuja oleh pemuda sebagai revolusioner yang akan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik dengan nilai-nilai baru, tokoh tersebut malah masih berkutat dengan nilai-nilai lama. Soetan Sjahrir ketika menjabat sebagai perdana menteri pada kabinet pertama Republik Indonesia diharapkan bersikap anti-Belanda, tapi sayangnya Perundingan Linggajati malah menghancurkan image dia sebagai revolusioner. Begitu kawan politiknya menghujat kebijakannya dan masyarakat (utamanya golongan pemuda) tidak mendukung ide-idenya tentang ”politik diplomasi”, ia pun akhirnya menyerahkan mandat dan mengundurkan diri dari jabatan Perdana Menteri.

Ditengah rasa frustasi itu, para pemuda kembali menjagokan tokoh kiri Indonesia. Amir Sjarifuddin di dukung dengan segenap harapan-harapan rakyat Indonesia. Tapi Amir sendiri merasa kesulitan untuk melaksanakan ide revolusioner-nya di lingkungan pemerintahan. Dan akhirnya Perundingan Renville pun menjatuhkannya dari posisi perdana menteri setelah PNI dan Masjumi menarik diri dari kabinetnya. Rakyat pun kembali frustasi dan kebingungan tanpa tahu kemana arah revolusi Indonesia yang sebenarnya.

BAB V : MIMPI-MIMPI INDAH YANG TELAH BERAKHIR
Bab ini menerangkan tentang keadaan Indonesia usai mundurnya para pemimpin-pemimpin Sayap Kiri dari kabinet Indonesia. Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa selama dua periode awal pemerintahan Republik Indonesia dipimpin oleh golongan Sayap Kiri, yaitu Soetan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Soetan Sjahrir yang mengundurkan diri dari kabinet karena tekanan dari golongan Sayap Kiri yang merupakan kawan politiknya membuat dirinya keluar dari golongan Sayap Kiri. Soetan Sjahrir pun menjadi oposisi dari kabinet Amir Sjarifuddin dan memisahkan diri dari Partai Sosialis dengan mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Gagalnya kelompok Sayap Kiri membuat rakyat kebingungan dalam mencari tokoh yang tepat untuk memimpin Republik. Hatta pun akhirnya ditunjuk sebagai perdana menteri menggantikan Amir Sjarifuddin. Pengangkatan Hatta sebagai perdana menteri membuahkan dilema bagi kelompok Sayap Kiri. Hal ini berakibat pecahnya kelompok Sayap Kiri dan kelompok ini pun mengundurkan diri dari kabinet. Kabinet Indonesia tanpa kelompok Sayap Kiri pun dimulai di era Hatta.

Bekas kelompok Sayap Kiri seperti Soetan Sjahrir dkk. yang mendukung kabinet Hatta tergabung dalam panitia Program Nasional. Amir Sjarifuddin sendiri melalui Partai Sosialis sebenarnya tergabung dalam kepanitian ini, karena Program Nasional dapat dijadikan oleh Sayap Kiri sebagai alat politiknya. Tetapi kemudian ia mundur dari Program Nasional dan merubah nama Sayap Kiri menjadi Front Demokrasi Rakyat. Hal ini dikarenakan Program Nasional Hatta dirasakan sebagai tekanan terhadap Front Demokrasi Rakyat. Front Demokrasi Rakyat sendiri akhirnya menjadi oposisi di pemerintahan Hatta.

Tetapi FDR sendiri memiliki pengaruh yang kuat di kalangan rakyat. Bahkan Divisi IV (Batalyon Panembahan Senopati) berada dibawah pengaruh FDR. Apalagi setelah Soeripno yang kembali dari Praha bersama sekretarisnya yang bernama Soerapto. Propaganda-propaganda Soeripno dan Soerapto mampu menumbuhkan sikap revolusioner dan merubah garis-lunak Koalisi Sayap Kiri menjadi garis-keras Front Demokrasi Rakyat. Soerapto sendiri akhirnya diketahui bahwa ia sebenarnya adalah Musso, seorang agitator dan ahli propaganda yang merupakan senior Soekarno ketika ia berguru kepada H.O.S. Tjokroaminoto.

Situasi di dalam negeri pun makin panas. Apalagi setelah Tan Malaka dibebaskan oleh Hatta, tuduh-menuduh pun terjadi antar kubu pro-FDR dan anti-FDR. Di Solo yang terdapat banyak simpatisan pro-FDR dan anti-FDR terjadi culik-menculik antar pasukan TNI dengan laskar-laskar. Hal ini dikarenakan sikap kurang simpatik pasukan Siliwangi ketika ditegur oleh pasukan divisi Senopati. Pertempuran pun terjadi antar pasukan TNI. Tetapi laskar rakyat dan pasukan divisi Senopati dapat dipukul mundur hingga Madiun. Akhirnya Solo menjadi basis kelompok anti-FDR dan Madiun pun menjadi basis pro-FDR. Perang saudara pun tak terelakkan lagi di Madiun setelah Hatta mengumumkan darurat perang.

BAB VI : AWAL DAN AKHIRNYA
Bagian pembuka bab ini sungguh menarik, Soe Hok Gie mengambil kata-kata dari Mayjend. T.B. Simatupang yang diambil dari Laporan dari Banaran hlm. 98. ”Saya sendiri yakin bahwa anak-anak biasa, yakni prajurit-prajurit dan pemuda-pemuda yang telah gugur pada kedua pihak selama peristiwa Madiun ini umumnya tidak tahu-menahu tentang persoalan-persoalan yang berada di belakang tragedi nasional ini. Saya yakin bahwa doa yang terakhir dari anak-anak itu semua adalah untuk kebahagiaan dan kebesaran tanah air yang satu juga”.

Ini menunjukkan bahwa pemberontakan yang dilakukan FDR/PKI di Madiun ini muncul akibat ketidakpuasan rakyat kepada pemerintah. Para pemuda dan rakyat yang menginginkan suatu perubahan dalam sistem dan nilai-nilai di Indonesia untuk kehidupan yang lebih baik menggunakan cara kekerasan setelah pemerintah tidak merespon segala aspirasi mereka. Pada perang saudara yang terjadi di Madiun ini kedua-belah pihak sama-sama menginginkan kemajuan bagi Republik Indonesia, hanya saja perbedaan ideologi dan cara membuat peristiwa berdarah ini terjadi.

Pada bagian ini dijelaskan mengenai peristiwa Madiun secara lebih mendetail. Dimulai dengan serbuan pasukan divisi Senopati ke Solo pada 17 September 1948 dan deklarasi Front Demokrasi Rakyat / Front Nasional pada 18 September 1948. Dalam waktu singkat pun Madiun, Pati, Ponorogo, dan Cepu dikuasai oleh Pemerintah Front Nasional. Di daerah yang dikuasai, FDR melucuti persenjataan milik polisi dan TNI yang masih setia terhadap Republik dan menangkapi lawan-lawan politiknya dari Masjumi dan PNI. Amir Sjarifuddin dan Musso sendiri sibuk memanas-manasi rakyat dan orasi-orasi nya pun semakin anti-pemerintah Republik. Soekarno sendiri ikut memanaskan suasana dengan memerintahkan masyarakat untuk memilih bergabung dengan dirinya (Soekarno-Hatta/Pemerintah) atau bergabung dengan gerombolan Musso (FDR/PKI).

TNI sendiri dibawah Jenderal Soedirman menghadapi dilema. Di satu sisi mereka tidak menyetujui ide demobilisasi tentara yang dilontarkan Hatta. Tapi di sisi yang lain ia juga tak setuju dengan PKI yang menggunakan militer hanya untuk kepentingan partai. Sebenarnya TNI sendiri bersimpati dengan gerakan revolusioner FDR ini. Hanya saja kesetiaan terhadap NKRI membuat TNI harus bersikap tegas terhadap kudeta FDR di Madiun ini.

Pasukan TNI pun dipersiapkan untuk mengepung Madiun dari segala arah. Hal ini dikarenakan Madiun adalah pusat dari FDR, sehingga apabila pemerintah FDR pusat mampu ditumpas, maka daerah-daerah FDR yang lain akan mudah untuk dibasmi. Pendukung FDR yang terdesak pun kebingungan dan melakukan tindak pembunuhan secara membabi-buta terhadap tawanan-tawanan yang mereka sekap. Begitu Pasukan TNI berhasil merebut Madiun, tindakan balasan dari masyarakat terhadap pendukung FDR terjadi. Banjir darah pun tak terelakkan lagi, karena yang berperang bukan lagi tentara melawan tentara, melainkan rakyat melawan rakyat.

Perlawanan sengit sempat terjadi di Ponorogo, tetapi dapat ditumpas dengan baik oleh pasukan TNI. Musso sendiri tertembak mati ketika dalam pengejaran TNI. Amir Sjarifuddin dapat ditangkap dan akhirnya dijatuhi hukuman mati. Sementara itu Aidit melarikan diri ke China. FDR sendiri akhirnya kehilangan dukungan dan PKI hilang untuk sementara waktu di Indonesia.
Beberapa teori tentang latar belakang Peristiwa Madiun dimunculkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dari dalam PKI sendiri menyebut Peristiwa Madiun adalah provokasi yang sudah dilakukan oleh Amerika Serikat. PKI menuduh pemerintah sedang mencari simpati dari Amerika Serikat supaya membantu dalam sengketa Indonesia-Belanda. Amerika sendiri sedang berupaya menghapus komunisme di dunia mengingat saat itu perang dingin sedang marak-maraknya.

Teori ini ditolak oleh kalangan TNI. Karena apabila teori provokasi ini benar, maka Soekarno-Hatta akan tenang karena rencana provokasi mereka berjalan dengan baik. Tapi kenyataannya Soekarno-Hatta sendiri kebingungan dan bertanya-tanya apa maksud dari sikap Musso yang menantang Republik Indonesia. Sementara itu dari golongan yang anti-FDR menyebutkan bahwa Peristiwa Madiun memang sudah direncanakan oleh PKI, hal ini mereka hubungkan dengan garis keras Zhdanov yang dipakai oleh Komintern sejak tahun 1947 dan gerakan-gerakan komunis yang terjadi di Burma, Malaya, serta Filipina.

21 July 2009

Candi Sukuh

1 komentar
Menurut saya, Candi Sukuh yang terletak di lereng Gunung Lawu ini merupakan salah satu candi terakhir dalam kebudayaan Hindu di Indonesia. Hal ini dilihat dari adanya simbol lingga dan yoni berupa alat kelamin laki-laki dan perempuan yang dipahat secara realis. Begitu juga dengan lokasi pembangunannya yang terletak di daerah pegunungan yang merupakan wilayah pelarian para loyalis pemerintahan Hindu Majapahit saat mengalami kemunduran atau merupakan lokasi yang dipilih sang prabu sebagai tempat pengasingan setelah ia mangkat dari jabatannya. Sementara dari sisi historis, dapat diketahui bahwa Candi Sukuh dibangun pada masa Brawijaya I (Kertawijaya) berdasarkan sengkalan yang berbunyi gapuro buto abang wong yang menyimbolkan tahun 1359 Saka atau 1437 Masehi. Tetapi yang menjadi pusat pertanyaan atas teori tadi adalah kenapa Prabu Brawijaya “lari” hingga sejauh itu dari pusat kerajaan di sekitar utara Jawa Timur? Padahal, apabila melihat lokasi pusat pemerintahan Majapahit, maka masih terdapat beberapa lereng gunung lain yang lebih dekat daripada di Sukuh, bisa di sekitar lereng Gunung Lawu sebelah timur atau mungkin di sekitar Pegunungan Mahameru.

Dari segi bentuk, Candi Sukuh memiliki beberapa keunikan tersendiri apabila dibandingkan dengan candi-candi yang lain. Yaitu bentuk candi yang mirip dengan kuil-kuil pemujaan Suku Maya dan Suku Inca di Amerika Selatan. Secara bentuk memang candi ini tidak bercorak candi Hindu (baik model Jawa Timur maupun Jawa Tengah) atau candi Buddha, melainkan lebih ke arah punden berundak sebagaimana model tempat pemujaan manusia zaman prasejarah. Relief yang menghiasi candi pun unik, dimana relief itu begitu kasar, tebal, dan natural. Ciri khas relief Candi Sukuh adalah lebih tebalnya gambar-gambar di batuan tersebut dibandingkan dengan relief-relief di candi-candi yang lain. Dari segi gambar juga lebih kasar dan realis, sehingga perlambang manusia sebagai dewa (sebagaimana penggambaran sang raja sebagai dewa pada beberapa candi Hindu) hampir-hampir tidak ada. Dengan bentuk candi yang seperti punden berundak dan arca-arca yang lebih mirip seperti menhir, maka hal ini mengingatkan akan model-model pemujaan zaman prasejarah. Dapat dikatakan budaya asli Nusantara bercampur dengan budaya Hindu, dan akulturasi ini bercampur dalam bentuk Candi Sukuh. Sebuah pertanyaan lain muncul, mengapa candi yang notabene dibangun untuk menyucikan sang prabu ini tidak berbentuk Hinduisme, malah lebih berbentuk kepercayaan lama masyarakat Jawa. Padahal sudah jelas sang prabu adalah pejabat yang beragama Hindu, sehingga sewajarnya dibuatlah bangunan bercorak Hindu untuk sang prabu. Tetapi realitas Candi Sukuh memberikan gambaran bahwa Hindu hanya sekedar simbolik saja, sementara bentuk candi malah menganut corak keagamaan yang lama. Ada kemungkinan hal ini merupakan wujud agar sang prabu beserta para brahmana yang ada disekitarnya diterima oleh masyarakat asli yang masih menganut agama nenek moyang.

Dari segi fungsi, melalui model dan relief candi dapat diketahui bahwa candi ini dibangun untuk upacara ruwatan (penyucian). Dari bentuk simbolik candi menegaskan bahwa tempat ini dipakai untuk menyucikan sang raja hingga dia moksa (menghilang) di Candi Cetho. Tapi dari situ saya kembali pada pertanyaan yang tadi, mengapa sang prabu lari begitu jauhnya dari pusat kota menuju lereng Gunung Lawu sebelah barat hanya untuk menyucikan diri dan beristirahat untuk yang terakhir kalinya setelah kedudukannya sebagai raja dijatuhkan?

Satu hal lagi yang unik pada Candi Sukuh adalah paham Hindu-tantrayana yang begitu kental pada relief-relief candi. Bentuk phallus (alat kelamin laki-laki) dipahat secara vulgar, bahkan pada beberapa relief dan patung tampak menonjolkan alat kelamin pria maupun wanita. Dari sini saya timbul pertanyaan lagi, apa hubungan antara Hindu-tantrayana tadi dengan upacara penyucian Prabu Brawijaya? karena apabila ritual penyucian disana dilakukan dengan cara memberikan sesajen serta melakukan hubungan seksual (atau bahkan pesta seks?), maka hal ini mirip sekali dengan ritual-ritual paganisme yang salah satunya melakukan pesta seks untuk bertemu dengan Tuhan. Begitu juga dengan beberapa teori dalam menginterpretasikan tiga buah patung kura-kura di depan candi. Beberapa mengatakan bahwa patung kura-kura itu merupakan lambang dari bumi, sementara ada juga yang mengatakan bahwa patung kura-kura itu merupakan penjelmaan Dewa Wisnu, sehingga digunakan untuk menaruh sesajen dalam upacara ruwatan. Sementara menurut saya apabila dihubungkan dengan Hindu-tantrayana yang memuja kesuburan dan mirip dengan ritual paganisme, maka patung kura-kura tadi dapat berfungsi sebagai kasur untuk ritual hubungan seksual dalam usaha pertemuannya dengan Tuhan.

Begitu juga dengan lantai yang memiliki relief phallus dan vagina di gerbang candi. Saya hingga kini masih bertanya-tanya apa kira-kira fungsi dari lantai ber-relief tersebut. Sebagai simbolik, jelas relief tersebut menunjukkan budaya Hindu-tantrayana sebagai lambang kesuburan, tetapi sebagai fungsi saya masih belum mendapat informasi. Beberapa hal yang saya dapatkan menyangkut relief tadi, ada yang bilang bahwa relief tersebut sakral sehingga tidak ada yang boleh melewatinya kecuali seseorang yang dianggap berhak untuk melewatinya. Dan juga ada yang bilang area tersebut dipagari supaya pengunjung tidak lewat situ sehingga relief dapat terawat dan terhindar dari injakan kaki manusia. Tetapi saya lebih suka pada pendapat bahwa tempat itu memang sakral, mengingat mitos yang ada mengenai gerbang tersebut serta dua wajah dwarapala dan dua relief garuda yang mengitari sisi luar gerbang candi tersebut. Sebuah mitos tentang seorang wanita yang melewati (mungkin meloncati) relief tadi dan apabila dia tidak apa-apa, maka dia masih perawan, tetapi apabila baju yang ia kenakan sobek atau mungkin keluar darah dari kemaluannya, maka ia sudah tidak perawan atau bukan wanita baik-baik. Tetapi bila kita menghubungkan mitos tadi, maka hal itu akan berhubungan dengan budaya Hindu-tantrayana dan mungkin juga paganisme. Tetapi apabila dihubungkan dengan upacara ruwatan, maka masih menjadi pertanyaan yang cukup besar ketika menghubungkan antara ruwatan dengan seksualitas.

Mengenai inti pertanyaan dari saya tadi, akhirnya saya menemukan sebuah pendapat akan adanya kemungkinan sang prabu sengaja mencari tempat untuk mengasingkan diri dari segala hiruk-pikuk keramaian istana pasca ia mangkat dari jabatannya sebagai raja di Majapahit. Hal ini dikarenakan dalam beberapa referensi yang menyatakan bahwa seorang raja setelah mangkat dari jabatannya ia akan memilih untuk mengasingkan diri di pegunungan agar menjadi seorang brahmana. Dan mengapa ia tidak memilih Mahameru atau sisi timur Lawu, karena lokasi tersebut masih dekat dengan istana sehingga mungkin mengganggu ketenangannya.

14 July 2009

Bagaimana Kalau Penyebar Islam di Indonesia itu Orang Cina?

0 komentar
Judul Buku:
Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Indonesia



Prof. Dr. Slamet Muljana dalam buku ini banyak menulis mengenai teori-teori baru dalam masuknya Islam di Nusantara. Teori yang disampaikan oleh beliau sendiri bisa dibilang nyeleneh dan sangat kontroversial. Tema besar yang ingin diangkat ke permukaan oleh beliau sendiri adalah mengenai “Muslim Tionghoa” di Nusantara. Disini, Prof. Dr. Slamet Muljana memaparkan sebuah teori baru bahwa para penyebar Islam di Nusantara berasal dari golongan Tionghoa. Bahkan beliau berani menyatakan bahwa fakta-fakta yang beliau sajikan adalah fakta yang valid, sehingga berani menyingkirkan beberapa historiografi tradisi dan meletakkan historiografi tradisi itu hanya sebagai pembanding saja. Bahkan pada beberapa bagian terkesan menyalahkan sumber-sumber dari historiografi tradisi.


Disini beliau menganalisa mengenai sudah adanya golongan Tionghoa Muslim sebelum kerajaan Islam pertama di Jawa berdiri. Hal ini berdasarkan fakta mengenai Laksamana Cheng Ho yang merupakan seorang muslim dan sempat mendirikan komunitas Tionghoa di beberapa pelabuhan di Nusantara. Dari komunitas Muslim Tionghoa inilah teori-teori Prof. Dr. Slamet Muljana dimulai. Beliau menyebutkan bahwa Muslim Tionghoa ini sangat berperan dalam penyebaran agama Islam di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa. Bahkan beliau berani bertaruh bahwa pendiri kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa adalah seorang Tionghoa Muslim yang bernama Jin Bun, anak dari Kung Ta Bu Mi (Kertabhumi) dengan seorang Putri Cina. Setelah mengatasi pemberontakan di Semarang, Jin Bun pun diangkat sebagai bupati di Semarang hingga dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai Panembahan Jimbun atau Senapati Jimbun. Dan Senapati Jimbun inilah yang biasa kita kenal sebagai Raden Patah.


Tapi, teori mengenai Raden Patah yang merupakan seorang “chinese” ini segera terabaikan dengan pernyataan kontroversial dari Slamet Muljana sendiri yang menyatakan bahwa Walisongo merupakan para Muslim Tionghoa yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Bahkan delapan dari Sembilan wali itu adalah Muslim Tionghoa. Dimulai dari pernyataan bahwa Sunan Ampel merupakan pendatang dari Yunan yang memiliki nama asli Bong Swi Hoo, cucu penguasa tertinggi Campa (Bong Tak Keng). Lalu terdapat juga seorang wali yang sudah biasa dianggap oleh sejarawan sebagai pribumi tulen dalam Walisongo, yaitu Sunan Kalijaga. Disini dipaparkan bahwa Sunan Kalijaga yang memiliki nama asli Raden Said juga merupakan chinese keturunan. Raden Said disebutkan memiliki nama asli Gan Si Cang, anak seorang kapten Cina yang juga merupakan saudara ipar dari Sunan Ampel, Gan Eng Cu. Dan apabila kita membaca lebih dalam tentang buku ini, sangatlah kental akan aroma chinesentris dalam penulisan teori-teori baru ini.


Sayangnya sumber yang dipakai oleh Prof. Dr. Slamet Muljana ini cukup meragukan. Dalam salah satu artikelnya, Asvi Warman Adam menyebut bahwa teori-teori Slamet Muljana ini banyak mengambil kesimpulan dari novel “Tuanku Rao” karya Mangaraja Onggang Parlindungan. Sementara itu novel Tuanku Rao sendiri berdasarkan pada bab pembuka dari hasil penelitian Poortman. Jadi, baik Mangaraja Onggang Parlindungan maupun Prof. Dr. Slamet Muljana, keduanya belum pernah membaca naskah asli yang didapat Poortman dari klenteng-klenteng di Semarang. Dan Asvi sendiri berharap kelak sejarawan Indonesia juga meneliti sendiri sumber-sumber berbahasa Cina yang didapat dari klenteng-klenteng di Indonesia, sehingga kebenaran sejarah periode awal agama Islam di Jawa dapat terungkap dengan jelas.


Untuk melegitimasi teorinya, Slamet Muljana menggunakan teori bahwa Walisongo merupakan para Tionghoa Muslim untuk menarik minat masyarakat. Hal ini karena teori bahwa Raden Patah merupakan seorang Tionghoa keturunan sudah lama mencuat sejak pasca pemberontakan PKI pada 1928. Saat itu Poortman sendiri diutus untuk menggeledah klenteng-klenteng di Semarang guna mendapat bukti bahwa Raden Patah merupakan seorang Tionghoa. Dan naskah sebanyak tiga pedati yang ditemukan oleh Poortman itu dinilai sangat rahasia dimana hanya para pembesar Belanda saja yang boleh membacanya, bahkan hasil penelitian dari naskah itu hanya disalin sebanyak lima lembar dan tidak satupun yang berada di Batavia/Jakarta.


Sumber yang diambil oleh Prof. Dr. Slamet Muljana juga sangat sedikit. Hanya tiga sumber selain novel Tuanku Rao, yaitu Babad Tanah Jawi, Serat Kanda, dan sumber berita dari Portugis. Dan beliau dalam menggabungkan sumber-sumber tersebut benar-benar menyingkirkan dan memandang sebelah mata dua historiografi tradisi, yakni Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Dan juga mungkin beliau melupakan akan kemungkinan tentang adanya dua orang yang berbeda pada masa yang sama, sebagaimana beberapa teori yang menyebut bahwa Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah orang berbeda tetapi berada pada satu masa. Jujur saja saya disini kurang bisa menerima bahwa Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga adalah seorang Tionghoa, bukan karena sikap sentimen Tionghoa, tapi lebih kepada teori lain yang saya rasa lebih meyakinkan. Terutama menyangkut Sunan Kalijaga yang merupakan image “Sunan Pribumi” bagi masyarakat Jawa.

07 July 2009

Historiografi Kristen Pada Masa Awal: Sebuah Perjuangan Identitas

0 komentar
Sejarah adalah perjuangan identitas, inilah makna dari sejarah yang tepat bagi para sejarawan Kristen di Kerajaan Romawi pada masa awal Kristen mulai bangkit. Ketika masyarakat beserta penguasa sebagian besar masih menganut paganisme dan dimana Kristen pada saat itu merupakan minoritas, tetapi perjuangan para sejarawan Kristen saat itu melalui naskah-naskah dan buku-buku layak diberi apresiasi. Lagipula apa yang dilakukan oleh para misionaris kuno tersebut tidak sia-sia, dengan penetapan agama Kristen sebagai agama negara pada masa Kaisar Konstatinus.

Tetapi sebenarnya, ketika kita berbicara mengenai Sejarah Kristen di masa awal, bukan hanya pertarungan identitas saja yang menjadi fokus penulisan, tetapi juga pengakuan akan kebenaran agama mereka. Hal ini tercakup pada naskah injil yang ditulis oleh para sahabat dan murid Yesus sendiri. Dalam naskah-naskah tersebut lebih bersifat kronik berisi pengalaman-pengalaman mereka bersama Yesus. Salah satunya adalah Injil Yudas, yang ditemukan sekitar tahun 1970-an. Injil Yudas ini berisi mengenai sifat-sifat pribadi Yudas dalam ketaatannya pada Yesus. Naskah kuno seperti inilah yang menjadi historiografi-historiografi kristen awal.

Sehingga dapat dikatakan bahwa tulisan-tulisan sejarah yang ditulis oleh beberapa murid dan sahabat Yesus merupakan sumber primer mengenai sejarah Kristen di masa awal. Tulisan-tulisan tersebut juga bersifat sebagai kitab suci yang digunakan sebagai alat dakwah bagi penyebaran agam Kristen di dunia. Injil-injil pada masa awal kelahiran kristen inilah yang menjadi pegangan pokok bagi para misionaris.

Tetapi sayang, dalam proses penyebaran agama Kristen tersebut banyak menemui hambatan. Proses penyebaran agama Kristen ini dihalang-halangi oleh penguasa Romawi saat itu, hingga berujung pada penyaliban Yesus. Tetapi perjuangan penyebaran agama Kristen itu lalu dilanjutkan oleh para sahabat dan murid-muridnya. Sehingga dengan cara penyebaran seperti itu, pemeluk agama kristen semakin meningkat pesat. Pesatnya pertumbuhan pemeluk ini juga diikuti masalah tentunya, yaitu semakin kuat juga perlawanan yang dilakukan oleh kaum pagan.

Hal yang saling berlawanan ini tentunya menimbulkan konflik horisontal antara kaum Kristen dan Pagan. Pertarungan kedua-belah pihak inilah yang akhirnya memicu kebangkitan karya-karya historiografis nasrani-sentris pada masa awal Kristen. Pandangan yang muncul pada naskah-naskah historiografi Kristen adalah pandangan-pandangan anti-pagan dan filsafat Kristen. Penulisan-penulisan yang bersifat profan dan sakral menjadi warna tersendiri pada penulisan historiografi saat itu.

Semangat anti-pagan dan perjuangan penyebaran agama Kristen mendasari dibuatnya karya-karya historiografis oleh tokoh-tokoh agama Kristen saat itu. Salah satunya yang cukup kelihatan dalam memperjuangkan agama Kristen dalam kancah politik perkotaan kota Roma adalah karya Agustinus yang berjudul De Civitate Dei (City of God). City of God dibuat oleh Agustinus sebagai jawaban atas serangan-serangan kaum pagan yang menyalahkan kekristenan sebagai penyebab keruntuhan Kerajaan Romawi, karena pada saat itu Kota Roma sedang dikuasai oleh kaum Visigoth dan Kerajaan Romawi terkoyak-koyak akibat serangan Visigoth tersebut.

Kaum Pagan menganggap bahwa kehancuran Roma adalah kemarahan para dewa karena ada kaum Kristen yang menghuni kota tesebut. Hal ini langsung dibantah oleh Agustinus dalam bukunya yang berjudul De Civitate Dei tadi. Agustinus sebenarnya dalam menuliskan De Civitate Dei addalah akibat desakan sahabatnya, Marcellinus yang gerah terhadap serangan kaum pagan terhadap Kristen.

De Civitate Dei menerangkan bahwa sesungguhnya terdapat dua jenis negara, yaitu negara Allah (Civitas Dei) dan negara sekuler (Civitas Terrena). Hal ini mengacu pada konsep negara ideal menurut Plato. De Civitate Dei ini sebenarnya terdiri dari 20 buku yang terbagi menjadi 2 bagian besar. Bagian pertama adalah bagian yang menceritakan jatuhnya kota Roma sebagai suatu bencana (I-III) dan pemaparan konsep-konsep serta diskusi-diskusi tentang ilah-ilah orang kafir (IV-X). Bagian kedua (XI-XXIII) menjelaskan tentang asal-usul, perkembangan dan tujuan duniawi dan sorgawi kota-kota yang ada di dunia. Kehidupan di dalam negara Allah diwarnai oleh iman, ketaatan, dan kasih Allah. Negara sekuler diwarnai oleh dosa, keangkuhan, dan cinta yang egois.

Dalam, De Civitaten Dei, Agustinus menawarkan sebuah negara yang didukung oleh adanya ketuhanan yang nyata (dalam hal ini Kristen). Sebuah Negara Tuhan yang menjadi penguasanya adalah wakil Tuhan di muka bumi. Aturan-aturan yang berlaku pun juga aturan dari Tuhan, sehingga kasih Tuhan akan menaungi negara tersebut. Hal berbeda akan dialami oleh negara sekular, dimana ketidakjelasan akan dewa-dewa kaum pagan membuat negara sekular tersebut terjebak pada pragmatisme kekuasaan dan mendekatkan masyarakatnya pada hal-hal yang bersifat keduniawian. Sehingga tidak mengherankan karya Agustinus ini memicu kekuasaan absolut gereja di masa mendatang dan semakin berjayanya feodalisme di Eropa.

Karya historiografis pada masa itu tidak hanya membahas mengenai sejarah politik saja, tetapi terdapat juga beberapa karya yang membahas mengenai sejarah agama. Ketika membicarakan mengenai sejarah agama, maka yang paling berperan adalah Julius Sextus Africanus. Dalam bukunya yang berjudul History of The World (220 M), ia mengangkat tema kegelapan yang terjadi pada saat kematian Yesus. Ia juga sempat mengutip dan membantah pandangan Thallos yang menganggap kgelapan yang terjadi saat kematian Yesus hanyalah fenomena alam belaka (gerhana matahari). Walaupun kedua sumber ini (baik dari Julius Sextus Africanus dan Thallos) sudah hilang, tetapi George Syncellus sempat mengutipnya dalam Chronicle (800 M).

Gaius Seutenius Tranguillus juga merupakan salah satu sejarawan yang hidup pada masa Kristen awal. Dalam masa itu ia melahirkan sebuah karya yang berjudul De Vita Caesarium (The Live of Caesars) yang membahas para kaisar Romawi sejak Julius Cesar hingga Dominitan. Ketika ia membahas pada bagian Kaisar Claudius, ia menulis bahwa Claudius mengusir orang-orang Yahudi dari Roma karena keributan-keributan yang terjadi akibat hasutan Christus.

Dari kedua karya diatas, dapat terlihat jelas bahwa historiografi pada masa itu merupakan persaingan antara kelompok Kristen dengan Pagan. Kaum Kristen menghendaki adanya pengakuan status mereka sebagai warga Roma dan berjuang untuk penyebaran agama Kristen, sementara kaum pagan menolak hadirnya agama baru tersebut dan selalu mengkambinghitamkan agama Kristen dalam proses kemunduran Kerajaan Romawi.

Dari peristiwa-peristiwa yang berlangsung pada masa itu, terutama yang berkaitan dengan pertempuran antara paganisme dengan kristen, dapat terlihat bahwasanya Thedassius dalam mengeluarkan dekrit untuk membentuk agama Kristen sebagai agama negara, dan juga Konstantin I yang menjadi seorang raja Kristen pertama dan menetapkan sejumlah regulasi baru mengenai Kristen adalah hal yang mungkin dipaksakan untuk menciptakan kedamaian di negeri itu. Roma yang diambang perpecahan antara Kristen dan pagan tentunya membuat Konstantin harus berpikir keras mengenai solusi tepat bagi keduanya. Akibat inilah teori sejarawan modern mengenai penggabungan agama Kristen dan pagan yang dicetuskan pada Konsili Nicea muncul.