31 January 2009

Proses

1 komentar
Kesuksesan akan kehilangan semacam sense apabila hadir tanpa sebuah proses panjang nan keras. Ketika sebuah keberhasilan itu timbul melalui sebuah proses dan perjuangan yang cukup keras, tentunya akan terasa manis sekali keberhasilan yang diraih. Hal itu akan berbeda dengan sebuah keberhasilan yang diraih melalui hal yang instan, dimana manisnya perjuangan tidak dapat dirasakan karena tiadanya proses (jalan) menuju keberhasilan tersebut. Tetapi sungguh ironis menemukan kenyataan bahwa dalam masyarakat modern saat ini banyak yang mengesampikan makna “proses” tersebut. Saat ini masyarakat lebih tertarik akan hal-hal yang instant, dimana mereka dapat menghasilkan sesuatu tanpa harus berusaha keras. Bila yang disebutkan tadi merupakan sebuah thesis, maka antithesis yang dihasilkan adalah masyarakat ini akan mudah sekali hancur. Hal ini karena ketiadaan proses tersebut membuat apa yang dihasilkan menjadi tak bernilai dan kurang bermakna.

Cukup banyak contoh kasus yang membuktikan akan pentingnya sebuah proses panjang. Kemerdekaan Indonesia tentu tidak akan bertahan selama ini apabila tanpa sebuah proses perjuangan yang telah digelorakan sejak awal abad ke-20. Proses panjang kemerdekaan Indonesia yang telah diperjuangkan sejak lama oleh para aktivis organisasi pro-kemerdekaan macam Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tjokroaminoto, Semaoen, dll akhirnya membuahkan hasil berupa proklamasi kemerdekaan Indonesia. Perjuangan pengakuan Indonesia yang dilalui selama kurang lebih 45 tahun membuahkan kemerdekaan hingga sekarang yang berumur 63 tahun. Proses panjang dalam waktu yang cukup lama serta melalui sebuah perjuangan yang sangat keras ini menghasilkan manisnya pembangunan di Nusantara. Bagi mereka yang mengalami saat-saat perjuangan, Kemerdekaan Indonesia menjadi sesuatu yang sangat mahal harganya. Mereka yang merasakan pahitnya perang kemerdekaan tidak akan pernah mengijinkan bangsa ini mengalaminya kembali. Mereka yang merasakan begitu menderitanya dibawah penjajahan kolonial Belanda akan sangat mensyukuri betapa nikmat secuil kesejahteraan akan pembangunan dalam beberapa kurun waktu terakhir. Proses membuat segala hal menjadi manis bagi mereka yang menjalaninya.

Begitu juga dalam sebuah kurikulum pendidikan, sebuah perguruan tinggi sekaliber internasional sekalipun tidak akan mampu menghasilkan alumnus unggulan tanpa melalui sebuah proses panjang. Justru walaupun perguruan tinggi tersebut hanya sekelas kecamatan, tetapi ketika perguruan tinggi tersebut mampu menghadirkan sebuah proses panjang dalam usaha penciptaan ‘intelektual muda’, maka dapat diyakini bahwa sang intelektual yang lahir dari perguruan tersebut benar-benar seseorang yang berkualitas dan bermutu tinggi. Inilah yang menjadi pemikiran dan kegelisahan penulis dalam merenungi akan pentingnya proses panjang. Sebenarnya penulis cukup kecewa akan program pembatasan waktu kuliah dan program percepatan kelulusan yang ada di kampus bertaraf internasional ini. Kecewa karena program tersebut terkesan memaksakan waktu kelulusan bagi mahasiswanya, dan juga karena program tersebut mengatur supaya tidak boleh ada mahasiswanya yang ‘abadi’ serta digunakan untuk mencetak mahasiswa unggul dengan kuantitas yang cukup banyak dalam waktu yang cepat (antara 3 – 4 tahun). Maka hal yang terjadi adalah semacam pemadatan mata kuliah pada angkatan baru yang memasuki universitas tersebut.

Pemadatan ini merupakan puncak kekecewaan penulis terhadap kurikulum yang baru diterapkan. Pemadatan mata kuliah ini dapat berupa tingginya poin SKS atau penggabungan mata kuliah. Dalam hal penambahan poin SKS, hal ini membuat semacam kekhawatiran baru pada mahasiswa. Sebagai contoh ketika mendapati sebuah mata kuliah dengan jumlah SKS hingga mencapai 5 poin, maka dari luar sudah dapat diketahui bahwa ‘harga’ mata kuliah tersebut berkisar antara Rp.300.000,- hingga Rp.375.000,-. Dapat dibayangkan betapa mengerikannya apabila hingga mengulang mata kuliah tersebut karena memperoleh nilai yang cukup buruk. Belum lagi ketika sang mahasiswa mendapat nilai buruk pada kuliah tersebut, otomatis ia kehilangan 5 SKS, dan itu sudah pasti kehilangan nilai yang cukup besar bagi mahasiswa yang dituntut memperoleh 144 SKS sebagai syarat kelulusan.

Begitu juga dengan penggabungan beberapa mata kuliah, hal ini penulis rasa cukup merugikan bagi mahasiswa. Cukup merugikan karena pada akhirnya hasil yang diperoleh juga tidak maksimal. Malah yang penulis alami adalah ‘belajar otodidak’ dalam memahami mata kuliah tersebut. Dalam hal ini karena penulis merupakan mahasiswa Ilmu Sejarah, cukup mengecewakan ketika mengetahui bahwa mata kuliah Sejarah Eropa Kuno, Sejarah Eropa Pertengahan, dan Sejarah Eropa Modern digabung menjadi satu mata kuliah yang bernama Sejarah Eropa. Hasil dari pembelajaran Sejarah Eropa yang penulis rasakan pun tidak maksimal. Dapat dibayangkan betapa sulitnya untuk mempelajari Sejarah Eropa sejak zaman Fenisia hingga zaman Uni Eropa saat ini dalam waktu hanya satu semester. Hal ini sama halnya dengan mempelajari Sejarah Nusantara sejak zaman Mulawarman hingga zaman Soesilo Bambang Yudhoyono, dan hanya diberi waktu satu semester (kurang dari enam bulan) untuk memahaminya. Padahal pada kenyataannya mata kuliah Sejarah Indonesia sendiri dibagi dalam beberapa bagian dengan jangka waktu 4 hingga 5 semester.

Dari hal diatas terlihat sekali bahwa proses kini bukan merupakan hal yang penting bagi kurikulum perguruan tinggi di Indonesia saat ini. Universitas di Indonesia saat ini lebih mementingkan jumlah daripada kualitas. Banyak contoh pada beberapa universitas yang mengikuti persepsi semakin banyak meluluskan mahasiswanya maka universitas tersebut semakin bermutu tinggi. Tidak mengherankan apabila saat ini jumlah ‘intelektual muda yang berkualitas’ semakin berkurang, bahkan sangat sedikit. Tidak mengherankan pula bila masih banyak sarjana di Indonesia yang menganggur. Karena kurikulum dan daya saing yang dibangun antar-universitas saat ini lebih mengedepankan nilai dan kuantitas lulusan, bukan kemampuan dan kualitasnya.

Sudah saatnya masyarakat Indonesia saat ini mulai memaknai akan pentingnya sebuah proses bagi kehidupan. Tidak ada sesuatu yang instan di dunia ini yang mampu menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Bahkan dalam hal makanan pun mie instan merupakan mie yang lebih buruk dan murahan apabila dibandingkan dengan mie yang dibuat dari terigu dengan tangan manusia. Sesuatu yang lahir dari sebuah proses panjang akan lebih baik hasilnya daripada yang muncul dari hal yang instan. Proses itu memang lambat dan memerlukan waktu yang cukup lama, tetapi perubahan yang dihasilkan dari sebuah proses panjang Insya Allah akan membawa kebaikan bagi semua. Wallahu’alam Bisshawwab.

Terakhir, sudah saatnya kita berbenah. Sudah saatnya kita berjuang bersama untuk Indonesia yang lebih baik. Sudah saatnya kita menciptakan sebuah proses perubahan. Kita adalah mahasiswa, para intelektual muda yang diharapkan mampu menjadi agent of change bagi nasib rakyat Indonesia. Kita adalah mahasiswa, para pemuda yang belajar ilmu pengetahuan supaya mampu membebaskan bangsa dari kebodohan. Pendidikan adalah cahaya pembebas dari kegelapan. Dan pendidikan juga bukan merupakan komoditas bisnis, apalagi mainan, bahkan sebuah bahan percobaan. Pendidikan adalah sebuah lilin, dimana apabila kita memaknainya sebagai sumber ilmu, maka lilin itu akan menjadi terang benderang dalam kegelapan. Sangat berbeda apabila pendidikan dijadikan sebagai kelinci percobaan, atau mungkin menjadi sebuah komoditas bisnis, maka pendidikan itu akan redup dan tidak lama kemudian mati. Tidak ada intelektual yang dilahirkan secara instan, dan tidak ada pendidikan instan yang mampu melahirkan para penggerak perubahan. Sudah saatnya pendidikan Indonesia juga memaknai akan pentingnya proses panjang dalam melahirkan para intelektual muda yang berkualitas tinggi. Semoga perspektif mutu pendidikan Indonesia dapat berubah, bukan kuantitas yang terpenting, tetapi kualitas.

Hidup mahasiswa Indonesia!!!

06 January 2009

Legitimasi Historiografi Tradisi

0 komentar
Contoh legitimasi kekuasaan dalam historiografi tradisi Indonesia :

1. Babad Tanah Jawi
Babad ini adalah buku yang berkisah tentang sejarah Pulau Jawa yang ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III. Berisi banyak tembang jawa dan merupakan sebuah karya sastra sejarah. Buku ini juga memuat silsilah raja-raja Mataram dengan memberinya legitimasi berupa garis keturunan lagsung dari Nabi Adam dan nabi-nabi lainnya. Legitimasi garis keturunan ini juga tidak hanya menyangkut kepada para nabi, tapi juga tokoh-tokoh pewayangan dan sang penguasa laut selatan (Nyai Roro Kidul).

2. Hikayat Raja-Raja Pasai
Sebuah karya sastra sejarah melayu yag berkisah tentang kerajaan Samudera Pasai. Legitimasi yang dipakai dalam buku ini adalah kisah tentang di-islamkan-nya Marah Silu oleh Nabi Muhammad SAW melalui mimpi yang kemudian mengangkat dirinya sendiri sebagai raja Samudera Pasai yang pertama dengan nama Sultan Malik Al-Saleh.

3. Hikayat Iskandar Zulkarnain
Mengisahkan tentang asal-muasal silsilah raja-raja melayu yang menganggap diri sebagai keturunan Alexander The Great guna melegitimasi diri dalam kekuasaan.

4. Kesultanan Banten
Kerajaan ini melegitimasi Syarif Hidayatullah yang dianggap sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dari pihak bapak. Sementara dari pihak ibu dianggap sebagai keturunan dari Sri Baduga Maharaja. Begitu juga dengan istrinya (Kawung Anten) yang merupakan keturunan Raja Pajajaran. Dan pasangan inipun melahirkan Maulana Hassanudin yang menjadi raja pertama Kesultanan Banten.

04 January 2009

Serat Pararaton: Kumpulan Kisah Para Raja

6 komentar
Serat Pararaton, sebuah historiografi tradisi yang menjadi rujukan utama para sejarawan dalam mempelajari sejarah Singhasari dan Majapahit. Posisi serat ini pun mampu menandingi kitab Negarakertagama dan prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh peradaban Singhasari dan Majapahit. Padahal kitab Negarakertagama dan prasasti-prasasti ini lebih jelas asal-usulnya daripada Serat Pararaton itu sendiri. Seperti yang telah lama diketahui, historiografi tradisi adalah historiografi dimana bercampurnya antara fakta sejarah dengan mitos-mitos yang ada. Dengan bercampurnya antara fakta dan mitos ini tidak serta merta membuat historiografi tradisi diragukan kebenarannya. Sejarawan sendiri lebih banyak mengambil dari Serat Pararaton ketika membicarakan tentang sejarah Singhasari dan Majapahit. Dan apa yang mereka dapat dari serat itu mereka bandingkan dengan Negarakertagama dan prasasti-prasasti yang telah ditemukan. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa Serat Pararaton adalah inti cerita dari sejarawan-sejarawan yang mengkisahkan sejarah Singhasari dan Majapahit, sementara Negarakertagama dan prasasti-prasasti lain hanya sebagai pembanding, penggembira, dan pelengkap dari kisah-kisah di dalam Serat Pararaton.

Hal yang menarik dalam serat ini adalah tidak jelasnya siapakah pengarang dari Serat Pararaton itu sendiri. Yang dapat dijadikan jejak penelusuran asal mula serat ini adalah nama desa dan waktu penyelesaian Serat Pararaton. Tetapi ini menjadi kontroversi ketika mendapati kenyataan bahwa Serat Pararaton sendiri ditulis pada tahun 1613 M, tepatnya pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma berkuasa. Sangat berbeda dengan kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada masa kerajaan Majapahit. Apalagi bila dibandingkan dengan prasasti-prasasti yang sudah pasti terbukti keabsahannya sebagai sebuah sumber sejarah. Padahal Serat Pararaton ini adalah rujukan utama para sejarawan dalam menganalisa sejarah Singhasari dan Majapahit, tetapi hingga saat ini belum diketahui siapakah penanggungjawab kebenaran-kebenaran peristiwa pada Serat Pararaton tersebut.

Serat Pararaton lebih ke arah sebuah novel yang sarat dengan kisah kepahlawanan, intrik politik, asmara, dendam, dan hasrat akan harta dan kekuasaan. Dan bila ditelisik lebih jauh, serat ini memberitahukan bahwa budaya politik nusantara adalah budaya saling mengkudeta satu sama lain . Bahkan dalam Serat Pararaton digambarkan dengan gamblang tentang perebutan kekuasaan, saling iri-dengki antar saudara, obsesi yang begitu tinggi, sifat megalomania, dendam pribadi, dan lain-lain. Hanya saja apabila dibandingkan dengan Negarakertagama, Serat Pararaton nampak lebih objektif karena tidak hanya membicarakan yang manis-manis saja mengenai sejarah Singhasari dan Majapahit.

Serat Pararaton ini berkisah tentang awal mula Ken Angrok lahir hingga menjelang jatuhnya Majapahit pada masa Bhre Pandanalas (Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta ). Di dalam nya penuh dengan mitos, fantasi, dan khayalan yang digunakan untuk melegitimasi tokoh-tokoh yang diceritakan di dalamnya. Fakta dan fantasi yang terbaur menjadi satu membuat para ahli sejarah meragukan bahwa Serat Pararaton ditulis untuk merekam kejadian-kejadian pada masa lampau. Hal ini diungkap oleh C.C. Berg yang berpendapat bahwa teks-teks tersebut secara keseluruhan supranatural dan ahistoris, serta dibuat bukan dengan tujuan untuk merekam masa lalu melainkan untuk menentukan kejadian-kejadian di masa depan.

Analisa Serat Pararaton
Dalam kisah pembuka diceritakan bahwa Ken Angrok kecil yang rela menjadikan dirinya sebagai kurban persembahan kepada sebuah gapura besar sebagai pengganti seekor kambing berbulu merah yang tidak berhasil didapatkan oleh Empu Tapawengkeng. Tetapi ia meminta supaya kelak ia dapat pulang kembali kepada dewa Wisnu dan dapat ber-reinkarnasi kembali. Kisah pun berganti dengan Dewa Brahma yang sedang berputar-putar mencari seorang wanita yang layak ditanami benih calon raja di bumi, dan sang dewa pun bertemu dengan seorang wanita yang baru saja menikah Ken Endok. Sang Dewa lalu menggauli Ken Endok dan menyuruh kepada Ken Endok supaya tidak bercerita kepada siapapun perihal peristiwa ini dan melarang ia untuk bersenggama dengan suaminya. Dewa Brahma pun mengancam Ken Endok apabila ia tidak mampu menjaga rahasia ini maka suaminya akan mati . Ken Endok pun menceritakan peristiwa itu dan menceraikan suaminya, dan tak lama kemudian suaminya itu meninggal dan lahirlah seorang Ken Angrok dari rahim Ken Endok. Lalu oleh Ken Endok bayi itu dibuang ke kuburan dan akhirnya ditemukan dan diasuh oleh seorang pencuri yang bernama Lembong.

Dalam kisah pendahuluan dari Serat Pararaton nuansa legitimasi akan Ken Angrok sudah sangat kental. Dia yang disebut sebagai anak dewa dan memiliki kekuatan gaib yang sangat kuat sudah dipaparkan dalam halaman-halaman awal Serat Pararaton. Dalam mitos jawa, keturunan raja kelak pastilah juga menjadi raja. Dan Ken Angrok telah dilegitimasi sebagai keturunan Dewa Brahma, yang berarti juga Hymelegitimasi para keturunan-keturunan Ken Angrok di masa sesudahnya memiliki darah sang dewa. Sehingga bisa dipastikan yang menjadi asal-usul legitimasi dalam Serat Pararaton ini bukan garis keturunan Dewa Brahma, melainkan garis keturunan Ken Angrok.

Kisah Pararaton lalu berlanjut pada pertemuan Ken Angrok dengan Dang Hyang Lohgawe, seorang brahmana yang berasal dari Jambudwipa dan bertugas memastikan perintah Bhatara Wisnu dapat terlaksana. Dang Hyang Lohgawe mendapatkan tugas dari Bhatara Wisnu untuk membimbing Ken Angrok hingga menjadi raja di Jawadwipa kelak. Dang Hyang Lohgawe dan Ken Angrok pun akhirnya bekerja pada akuwu Tumapel yang bernama Tunggul Ametung. Hingga akhirnya Ken Angrok bertemu dengan Ken Dedes, istri dari sang akuwu Tumapel dan melihat “barang rahasia” Ken Dedes yang menampakkan sinar.

Dari sepenggal kisah lanjutan dari Serat Pararaton ini dapat diketahui bahwa tujuan pengarang adalah untuk melegitimasi raja-raja Majapahit yang konon merupakan keturunan dari Ken Angrok dan Ken Dedes. Hal ini terbukti dari penjelasan “barang rahasia Ken Dedes yang bersinar” adalah pengakuan akan diri seorang ardhanareswari pada diri Ken Dedes. Ardhanareswari adalah seorang wanita yang memiliki tuah akan menurunkan raja-raja dan membawa keberuntungan. Terbukti dari pasangan Tunggul Ametung dan Ken Dedes yang menurunkan Anusapati dan Ranggawuni. Begitu juga dengan keturunan Ken Arok dan Ken Dedes yang mampu menurunkan Kertanegara, Raden Wijaya, Jayanagara, Tribhuwana Wijayatunggadewi, Hayamwuruk, hingga Girindrawardhana sebagai raja terakhir Majapahit. Apabila Raden Patah juga merupakan anak dari Brawijaya yang juga merupakan keturunan Raden Wijaya, maka dapat dipastikan seluruh raja Demak, Pajang, hingga Mataram merupakan keturunan dari anak Dewa Brahma dan sang ardhanareswari.

Kisah ini pun berlanjut pada obsesi Ken Angrok untuk memiliki Ken Dedes. Dan intrik tentang kekuasaan pun dimulai dari sini, ketika niatan Ken Angrok bukan hanya menjadi suami bagi Ken Dedes, melainkan juga menjadi raja di Jawadwipa. Dengan meminta bantuan Empu Gandring untuk membuatkan sebuah keris sakti, Ken Angrok pun menggunakan machiavelisme dalam memperoleh apa yang ia inginkan. Karena tidak sabaran, maka sang pembuat keris pun ia bunuh karena tidak menyelesaikan keris dalam waktu yang ia inginkan. Kutukan pun terlontar dari mulut Empu Gandring yang menyatakan tujuh orang raja akan meninggal dengan keris yang sama.

Ken Angrok lalu meminjamkan keris itu kepada sahabatnya, Kebo Ijo. Sifat suka pamer Kebo Ijo ia manfaatkan dalam rencana kudeta politis nya terhadap Tunggul Ametung. Ketika Kebo Ijo sedang terlelap, ia pun mencurinya dan membunuh Tunggul Ametung malam itu juga. Dan tak lupa esok harinya ia memfitnah Kebo Ijo dan membunuhnya dengan keris itu pula. Intrik politik yang tidak jelas siapa kawan dan siapa lawan ditunjukkan oleh Ken Angrok dalam Serat Pararaton. Begitu juga dengan kudeta politis yang berdarah pun ia perkenalkan kepada seluruh anak bangsa yang sedang belajar mengenai sejarah Singhasari.

Ken Angrok lalu diangkat sebagai akuwu Tumapel yang baru menggantikan Tunggul Ametung. Dengan begitu maka Ken Dedes ikut menjadi istrinya pula. Situasi politis yang sedang tidak kondusif antara para brahmana dengan Prabu Dandanggendis (Raja Kertajaya) pun menjadi santapan empuk bagi Ken Angrok yang terobsesi menjadi penguasa Jawadwipa. Ketika itu Prabu Dandanggendis menghendaki agar para brahmana menyembah dirinya, karena ia berpendapat bahwa tidak ada yang mampu menyamai kehebatannya kecuali sang Bhatara Guru (Bhatara Siwa). Mendengar sesumbar sang prabu, Ken Angrok pun meminta restu kepada para brahmana untuk memakai nama Hyang Caturbuja alias Bhatara Guru untuk menyerang Daha. Pertempuran pun terjadi di sebelah utara Ganter dengan kemenangan di pihak Ken Angrok. Prabu Dandanggendis pun mengundurkan diri dari medan perang dan semua hal tentang Prabu Dandanggendis hilang ditelan bumi. Persitiwa itu diberi candrasengkala “warna-warna janma iku” atau 1144 çaka (1222 M) .

Keberhasilan Ken Angrok dalam memanfaatkan situasi politis di Daha membuatnya mampu memperbesar kekuasaanya dan memperluas pengaruhnya di Jawadwipa. Obsesinya untuk menjadi raja di Jawadwipa menjadi kenyataan. Seusai peperangan di desa Ganter, Ken Angrok merubah status Tumapel yang semula merupakan negara bagian dari kerajaan Daha (Kadiri) menjadi negara merdeka dengan nama Singhasari. Ia pun mengangkat dirinya sebagai raja pertama Singhasari yang bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabumi.

Sikap Ken Angrok yang tidak memperdulikan Anusapati membuat sang anak terheran-heran. Dengan segala rasa penasaran Anusapati bertanya kepada sang ibu perihal ketidak-adilan sikap ayahnya dalam memperlakukan dirinya. Dengan penuh penyesalan Ken Dedes menceritakan kisah kudeta berdarah Ken Angrok pada Anusapati. Mengetahui kisah tersebut membuat Anusapati naik darah dan membunuh Sang Amurwabumi saat itu juga dengan keris Empu Gandring pemberian ibunya. Dari sini dapat diketahui bahwa Ken Dedes juga turut berperan dalam konflik internal kerajaan Singhasari. Seorang ardhanareswari ternyata juga sangat licik, ambisius, dan mementingkan kekuasaan diri sendiri. Ken Angrok memang orang ia cintai, tapi bagaimanapun juga Ken Angrok telah membunuh suaminya yang telah mengangkatnya dari seorang putri brahmana di desa menjadi permaisuri yang mengetahui nikmatnya kekuasaan. Sehingga tak ada jalan lain kecuali merestui keinginan sang anak untuk membunuh Ken Angrok.

Anusapati pun menjadi raja menggantikan Ken Angrok. Ia memerintah dengan ditandai sengkalan “sirna swarna wani nata” yang bermakna 1170 çaka atau 1274 M. Selama memerintah ia dihantui oleh rasa balas dendam dari keturunan Ken Angrok, sehingga ia melapisi istananya dengan parit yang sangat dalam serta pengawalan yang sangat ketat. Hingga suatu hari Panji Tohjaya (anak dari Ken Angrok dengan selirnya, Ken Umang) mengajaknya mengikuti aduan ayam dan meminta izin untuk meminjam keris pusaka Empu Gandring milik ayahnya. Karena terlena oleh suasana aduan ayam, Anusapati menjadi tidak waspada lagi dan Panji Tohjaya segera memanfaatkan momen tersebut untuk menusuk jantung Anusapati.

Panji Tohjaya pun menjadi raja Singhasari berikutnya. Akibat hasutan dari pembantu setianya membuat Panji Tohjaya berniat untuk membunuh kedua keponakannya, yaitu Ranggawuni dan Mahisa Campaka. Namun kedua keponakannya justru mendapat dukungan kuat dari seluruh tentara Singhasari sehingga terjadilah pemberontakan yang akhirnya membuat Panji Tohjaya terluka parah dan meninggal karena luka-lukanya.

Ranggawuni pun akhirnya naik tahta menjadi raja Singhasari. Ia memimpin dengan gelar Sri Jayawisnuwardhana Sang Mapanji Seminingrat Sri Sakala Kalana Kulama Dhumardana Kamaleksana . Saat Ranggawuni menjadi raja, maka Mahisa Campaka menjadi raja hanggabaya dengan gelar Bhatara Narasinga. Ranggawuni adalah putra dari Anusapati yang berarti cucu dari Tunggul Ametung dan Ken Dedes. Sementara Mahisa Campaka adalah putra dari Mahisa Wongateleng yang berarti cucu dari Ken Angrok dan Ken Dedes. Keduanya diibaratkan dwi-tunggal guna menyatukan antara pendukung Tunggul Ametung dengan pendukung Ken Angrok. Konflik Singhasari pun berakhir pada pemerintahan Ranggawuni sehingga ia akhirnya dapat meninggal tanpa harus terkena kutukan keris Empu Gandring.

Setelah Ranggawuni mangkat, ia digantikan oleh anaknya yang bernama Kertanegara. Ia memerintah dengan gelar Sri Maharaja Kertanegara. Pada masa kekuasaannya ia digambarkan sebagai pemimpin yang egois dan mementingkan perutnya. Ia adalah raja yang gemar pesta dan mabuk-mabukan.

Dalam pemerintahannya sempat terjadi reshuffle yang membuat banyak kalangan bhayangkara tidak puas. Antara lain Empu Raganata diturunkan dari jabatan rakryan patih menjadi adhyaksa. Penggantinya bernama Kebo Tengah atau Panji Aragani. Sedangkan Arya Wiraraja dimutasi dari jabatan rakryan demung menjadi bupati Sumenep. Panji Aragani digambarkan sebagai patih yang gemar pesta-pora, sehingga sang raja pun larut dalam pestanya. Ketika itu kebanyakan prajurit istana tengah dalam ekspedisi pamalayu, sehingga jumlah tentara di istana sangatlah sedikit. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Jayakatong yang saat itu menjadi raja di Daha untuk menyerang Singhasari. Kertanegara akhirnya tewas dalam pemberontakan Jayakatong dan dengan demikian berakhirlah sudah kerajaan Singhasari.

Sebuah akhir yang cukup tragis bagi Singhasari yang baru saja merasakan kedamaian setelah bergabungnya dua anak-turun penguasa. Nikmatnya kekuasaan dan semangat untuk merdeka menjadi objek utama dalam mengkaji sejarah Singhasari. Obsesi tinggi akan kekuasaan, konflik internal, dan ketidak-becusan dalam mengurus rakyat membuat raja-raja yang memimpin jarang yang mampu bertahan lama. Intrik politik dan kudeta berdarah yang hampir selalu timbul setiap era pemerintahan membuat Singhasari tak ubahnya negeri yang selalu bergolak dan dipenuhi dengan ketegangan-ketegangan politis hingga peristiwa berdarah hampir selalu terjadi di kerajaan itu.

Kisah pun masih berlanjut, seusai pemberontakan Jayakatong, Raden Wijaya lari menuju Sumenep untuk bertemu dengan Arya Wiraraja. Raden Wijaya pun diperintah untuk pura-pura setia pada prabu Jayakatong sembari meminta sebuah daerah untuk digunakan sebagai basis kekuatannya. Oleh Prabu Jayakatong, Raden Wijaya diberi hak untuk membuka hutan di Tarik. Ketika membuka lahan disana, salah satu prajuritnya menemukan buah maja yang rasanya amat pahit. Sejak saat itu nama Tarik diubah menjadi Majapahit.

Perebutan kekuasaan pun terjadi lagi. Kemarahan pasukan Tatar akibat penghinaan Kertanegara pada saat ia masih hidup kepada Mengci membuat Kubilai Khan memutuskan untuk menyerang Singhasari. Tapi Kubilai Khan tidak mengetahui bahwa Singhasari telah tamat, sehingga pasukan yang menuju ke Jawadwipa tetap saja bergerak maju guna menghancurkan siapapun penguasa di Jawadwipa. Pasukan Tatar ini pun dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk menggempur Jayakatong di Daha. Jayakatong pun akhirnya menyerah dan kekuasaan di Daha dipegang oleh Raden Wijaya. Setelah berhasil mengalahkan Daha, pasukan Raden Wijaya langsung mengusir pasukan Tatar hingga mereka kembali ke negerinya.

Semangat untuk memerdekakan diri dari belenggu penjajahan menjadi suatu hal yang pantas untuk dikaji dalam sejarah Majapahit. Berawal dari sebuah hutan di wilayah Tarik mampu merubah diri menjadi sebuah kerajaan besar yang kelak akan menyatukan hampir seluruh nusantara. Proses ini memang berlangsung cukup lama, tapi setidaknya dengan filosofi ‘bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya’ mampu menjadikan Majapahit menjadi sebuah negeri yang diingat oleh para sejarawan hingga kapanpun. Konsep asal-muasal negara nya tidak jauh berbeda dengan Singhasari pada masa awal. Bahkan penjajahnya pun sama-sama Daha. Dengan mempelajari sejarah bangsanya, Raden Wijaya mampu mendirikan sebuah kerajaan baru yang kelak menjadi kerajaan besar di Nusantara. Raden Wijaya pun menjadi raja pertama Majapahit dengan gelar Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana.

Raja Majapahit berikutnya adalah Jayanagara yang bergelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara . Pada masa pemerintahannya banyak diwarnai pemberontakan, hal ini karena terdapat tokoh bernama Mahapati yang terobsesi menjadi Mahapatih kerajaan. Para pesaing-pesaing Mahapati seperti Ranggalawe, Sora, Nambi, dan Kuti dihasutnya supaya memberontak hingga akhirnya mereka tewas satu-persatu. Diantara pemberontakan-pemberontakan itu yang paling berbahaya adalah pemberontakan Kuti, karena pada saat itu ibukota kerajaan mampu diduduki oleh para pemberontak. Tapi dengan sigap dapat segera ditumpas oleh pasukan bhayangkari yang saat itu dipimpin oleh Gajahmada.

Jayanagara wafat ditangan tangan tabib kerajaan. Ia meninggal di tangan Ra Tanca ketika sang tabib mengobati bisul sang raja. Ra Tanca pun kemudian dibunuh oleh Gajahmada. Sebuah analisa politis timbul dalam diri penulis bahwa mungkin ketidaktegasan Jayanagara adalah sebuah aib bagi kerajaan sebesar Majapahit. Selain itu tindakan Gajahmada menuruti perintah Jayanagara untuk melenyapkan mereka-mereka yang merupakan pengawal setia dari Raden Wijaya diakuinya sebagai suatu kesalahan besar. Hal ini berdasarkan informasi bahwa nama ‘Kalagemet’ yang diberikan oleh Serat Pararaton merupakan sebuah ejekan untuk Jayanagara. Untuk itu Gajahmada merancang sebuah perbaikan untuk menyelamatkan nama besar dan negeri-nya dengan menggunakan tangan Ra Tanca guna mengganti raja yang berkuasa saat itu.

Jayanagara lalu digantikan oleh adiknya, Tribhuwana Wijayatunggadewi yang bergelar Sri Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani. Dalam Serat Pararaton ia bernama Bhre Kahuripan. Persitiwa penting yang tercatat dalam masa pemerintahan Bhre Kahuripan adalah Sumpah Palapa yang dikumandangkan oleh Gajahmada. Dengan lantang Gajahmada berkata “Sadurunge samya nungkul, Nusantara Pulo Bali, Gurun, Seran, Tanjungpura, Aru, Pahang lan Tumasik, Dompo, Sunda, lan Palembang, tan arsa bukti rumiyin”. Gajahmada bersumpah bahwa ia tidak akan makan enak sebelum seluruh wilayah Nusantara tunduk pada kekuasaan Majapahit. Masa Bhre Kahuripan adalah masa perluasan wilayah Majapahit. Sebagai pelaksanaan atas Sumpah Palapa yang terlanjur diucapkan oleh Gajahmada.

Bhre Kahuripan mundur dari tahta raja Majapahit dan digantikan oleh anaknya, Hayamwuruk yang bergelar Rajasanegara. Peristiwa Bubat menjadi hal yang paling terkenal pada masa pemerintahan Hayamwuruk. Tahun 1351 Hayamwuruk hendak menikahi putri dari raja Pajajaran yang bernama Dyah Pitaloka Citrasemi. Sang raja memperbolehkan dengan satu syarat, pernikahan ini tidak bertujuan untuk menyerahkan kedaulatan Pajajaran pada Majapahit. Hayamwuruk menyetujuinya dan rombongan raja Pajajaran beserta putrinya pun bergerak menuju Majapahit. Tapi ditengah jalan rombongan ini dicegat oleh Gajahmada yang meminta supaya putri raja Pajajaran dijadikan upeti sebagai pertanda tunduk pada Majapahit. Raja Pajajaran menolak dan seluruh pasukan beserta para menak melindungi sang raja dan sang putri. Pertempuran besar itupun berlangsung sengit tanpa ada yang lari hingga akhirnya semua rombongan itu tewas di tangan pasukan Majapahit.

Persitiwa ini sungguh ironis dan mencoreng Sumpah Palapa sang mahapatih Gajahmada. Sebuah cara yang mungkin dalam pikiran Hayamwuruk dapat menguasai dengan cara damai telah gagal dengan tergesa-gesanya Gajahmada dalam mengambil keputusan. Setelah perang tersebut konon Hayamwuruk meminta maaf kepada kerajaan Pajajaran. Bahkan Hayamwuruk berjanji tidak akan menyerang lagi daerah Jawa Barat serta mengakui kedaulatan kerajaan Pajajaran. Kejadian ini jelas-jelas telah mencoreng nama Majapahit dalam sejarah Pasundan. Hingga sekarang pun di Jawa Barat tidak ada nama jalan yang bertuliskan Hayamwuruk maupun Gajahmada. Hal ini karena kesan Majapahit sebagai kerajaan agresor melekat kuat dalam sejarah Pasundan.

Setelah Hayamwuruk mangkat, Wikramawardhana menggantikan posisi Hayamwuruk sebagai raja majapahit yang bergelar Bhre Hyang Wisesa Aji Wikrama. Pada masa ini Bhre Hyang Wisesa memerintah Majapahit karena menikahi anak dari permaisuri Hayamwuruk (Kusumawardhani). Sehingga sebelum ajalnya Hayamwuruk memberikan warisan berupa pembagian kekuasaan untuk Kusumawardhani dan Bhre Wirabumi. Kusumawardhani selaku putri dari permaisuri diberi wilayah yang lebih luas, yaitu Majapahit Barat. Sementara Bhre Wirabumi mendapat bagian Majapahit Timur (Blambangan). Ketika Bhre Hyang Wisesa berkuasa, ia berselisih dengan Bhre Wirabumi. Lalu terjadilah Perang Paregreg dimana pihak Blambangan akhirnya kalah dan Bhre Wirabhumi dipenggal kepalanya. Sementara itu pengikut-pengikut Bhre Wirabumi banyak yang melarikan diri ke Pulau Bali.

Sebuah negeri yang sangat besar hancur dalam sekejap mata begitu sifat haus akan kekuasaan muncul dalam hati keturunan Hayamwuruk. Seperti yang sudah lama diketahui bahwa masa Hayamwuruk adalah masa yang sangat luas wilayahnya. Bahkan masa keemasan Majapahit terjadi pada era Hayamwuruk. Tetapi setelah Hayamwuruk mangkat, yang terjadi adalah perang saudara yang mengakibatkan lepasnya kerajaan-kerajaan yang telah dikuasai dan berada di luar Pulau Jawa. Kesibukan berperang antara Majapahit dengan Blambangan membuat kerugian yang cukup telak bagi Majapahit. Tercatat Majapahit berhutang sebesar 60.000 tail pada Dinasti Ming di Cina. Karena pada saat penyerbuan ke Blambangan, sebanyak 170 anak buah Laksamana Cheng Ho terbunuh.

Setelah Bhre Hyang Wisesa turun tahta, maka yang menggantikan adalah Dewi Suhita. Dewi Suhita menjalankan kekuasaan bersama sang suami Bhre Hyang Parameswara Ratnapangkaja. Kemunduran Majapahit pun terus berjalan. Begitu pula ketika Majapahit dipimpin oleh Kertawijaya yang bergelar Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana. Sebelum menjadi raja, Kertawijaya pernah menjabat sebagai Bhre Tumapel. Pada masa pemerintahannya Majapahit justru semakin terpuruk dengan berbagai bencana alam yang menyertainya dan peristiwa pembunuhan penduduk Tidung Galating oleh keponakannya, yaitu Bhre Paguhan putra Bhre Tumapel .

Setelah itu Kertawijaya digantikan oleh Rajasawardhana yang pernah menjabat sebagai Bhre Pamotan, Bhre Keling, dan Bhre Kahuripan. Setelah Rajasawardhana mangkat di Majapahit terjadi kekosongan pemerintahan selama tiga tahun. Setelah itu Bhre Wengker menjadi raja di Majapahit. Bhre Wengker bernama asli Girishawardhana Dyah Suryawikrama dan bergelar Bhre Hyang Purwawisesa. Kemunduran Majapahit semakin mendekati titik nadir dengan banyaknya bencana yang mendera. Dan raja Majapahit terakhir yang tercantum dalam Pararaton adalah Bhre Pandanalas yang bernama asli Dyah Suraprabhawa dan bergelar Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta.

Kesimpulan
Serat Pararaton seperti sebuah novel apabila karya tersebut disajikan pada zaman sekarang. Hal ini dapat dilihat banyaknya adegan-adegan yang dramatis seperti pengkhianatan, dendam, asmara, kematian, kemenangan, kekalahan, tumbangnya seorang raja, atau malah kebangkitan suatu kerajaan baru. Kisah yang ada dalam Serat Pararaton seperti meniadakan fakta sejarah dan menggunakan fantasi seindah-indahnya guna memperindah jalinan kisahnya.

Dalam serat ini terdapat kisah seorang pencuri yang bisa menjadi raja. Terdapat pula seorang kepala negara yang dibunuh anak buahnya hanya karena istrinya yang cantik . Konflik kekuasaan yang dimulai dari seseorang yang dianggap memberikan tuah keberuntungan. Kudeta politis yang berdarah. Kebangkitan sebuah dinasti baru yang mungkin anak-turunnya masih bertahan hingga sekarang. Perang besar yang terjadi hanya karena seorang wanita. Hingga sifat megalomania seorang mahapatih yang ambisius. Serat ini seperti menawarkan sebuah ending story yang kisahnya never end.

Hanya saja serat ini masih menyimpan misteri dengan belum diketahuinya pengarang dari Serat Pararaton. Bahkan yang lebih kontroversial lagi adalah serat ini ditulis pada era Mataram Islam dimana saat itu yang berkuasa di Jawa adalah Sultan Agung Hanyakrakusuma. Walaupun ada kemungkinan bahwa pengarang Serat Pararaton tinggal di daerah lain di luar kekuasaan Mataram Islam. Tetapi dibalik semua kontroversi itu, Pararaton lebih banyak diambil kisah-kisahnya daripada Negarakertagama.

Sayang, Serat Pararaton yang diterima oleh penulis bukan merupakan serat yang asli (mungkin lebih tepatnya terjemahan dari serat yang asli). Buku Serat Pararaton Ken Arok 2 yang dijadikan referensi penulis merupakan hasil analisis dari terjemahan Serat Pararaton karya Dr. Brandes. Jadi dalam buku ini juga diterangkan mengenai perdebatan para ahli sejarah Hindia Belanda dalam menerjemahkan Serat Pararaton. Selain itu yang membuat buku ini cukup rumit adalah upaya penjelasan garis keturunan yang mungkin digunakan untuk melegitimasi bahwa raja-raja Singhasari dan Majapahit adalah keturunan Dewa Brahma. Sementara itu proses jalannya pemerintahan beberapa raja dan beberapa peristiwa penting tidak terungkap secara lengkap disini.

Tetapi setidaknya isi dari Pararaton dapat dijaga kenetralannya. Sehingga tidak seperti Negarakertagama yang terlalu istana-sentris. Sayangnya legitimasi yang berlebihan pada kisah-kisah awalan nampak seperti dongeng. Legitimasi yang diberikan kepada Ken Arok (yang pada Serat Pararaton bernama Ken Angrok) sebagai anak Dewa Brahma membuat segalanya tampak mengerikan apabila diterjemahkan secara harfiah ke dunia modern. Dapat dibayangkan betapa mengerikannya ketika anak Dewa Brahma menikah dengan titisan ardhanareswari yang akhirnya menurunkan raja-raja Jawa, bahkan apabila keturunannya itu masih ada hingga saat ini. Dapat diartikan legitimasi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi sangat kuat dengan adanya keturunan dari putra Dewa Brahma dan titisan ardhanareswari, yakni Sri Sultan Hamengkubuwana X.

Pemitosan yang berlebihan pada bagian Sumpah Palapa menimbulkan perdebatan sengit di kalangan sejarawan. Banyak yang menganggap bahwa Gajahmada gagal dalam melaksanakan sumpahnya karena kesalahan taktik dalam merebut Pajajaran. Konon setelah peristiwa Perang Bubat, Gajahmada dicopot dari jabatannya dan tidak lama kemudian meninggal dunia dengan menyisakan Pajajaran sebagai negeri yang belum masuk ke dalam wilayah Majapahit.

Mitos yang berlebihan pada diri Ken Arok juga menjadi sasaran empuk para pendukung historiografi modern guna menuntut tidak digunakannya historiografi tradisi sebagai sumber sejarah. Kebanyakan analisa mengenai Pararaton lebih terkonsentrasi pada halaman-halaman awal yang penuh legitimasi kepada Ken Arok. Sementara analisa-analisa lengkap mengenai Pararaton sangat sulit untuk ditemukan. Kebanyakan yang menjadi sasaran analisis itu adalah Ken Arok, Raden Wijaya, dan Gajahmada. Hal ini cukup menyulitkan dalam memperoleh suatu informasi yang dirasa penting, karena yang memegang sentral tokoh di Serat Pararaton adalah semua raja yang pernah berkuasa selama era Singhasari dan Majapahit.